Masalah populasi tengah melanda sejumlah negara di dunia. Seperti terjadi belum lama ini, Korea Selatan mengumumkan tengah mengalami krisis populasi.
Negeri ginseng tersebut menyebut, jumlah pasangan yang menikah dan memiliki anak di negara tersebut mengalami penurunan. Dalam survei yang dirilis oleh Gallup Korea pada 11 Mei 2023, hanya sekira seperempat wanita modern di Korea Selatan yang tertarik untuk berkencan dan menikah dengan pasangannya.
Terlepas dari status pernikahan, sebanyak 56 persen pria menganggap wanita seusianya sebagai seseorang yang mereka inginkan sebagai pasangan hidup. Kenyataannya di kalangan wanita Korea Selatan, hanya 27 persen yang ingin menikah dan hidup bersama pria yang menjadi pasangannya.
Survei dilakukan terhadap 617 orang pria dan 585 orang wanita berusia produktif, antara 19 hingga 59 tahun dari 12 Agustus hingga 22 Agustus 2022.
Lee Eun Hee, Presiden Asosiasi Ekonomi Rumah Tangga Korea Selatan, menuturkan hasil survei ini didorong sejumlah faktor baik internal atau eksternal, salah satunya situasi perekonomian.
"Ada atau tidaknya paparan kekerasan dalam pacaran dan beban pekerjaan rumah serta mengasuh anak setelah menikah Ditambah dengan menurunnya pasar kerja dan meningkatnya ketidakstabilan sosial ekonomi, tampaknya baik pria maupun wanita punya pendapat yang sangat rendah tentang lawan jenis," jelas Lee Eun Hee.
Melihat populasi yang terus mengkhawatirkan, Pemerintah Korea Selatan pun tidak tinggal diam. Segala cara dilakukan untuk meningkatkan jumlah populasi, salah satunya dengan membayar pasangan yang ingin menikah.
Dilansir Korea Times, salat satu distrik di Korea Selatan bahkan memberikan uang sebesar 1 juta won atau setara Rp11 juta untuk warganya yang ingin berpacaran. Program ini merupakan bagian dari insentif untuk mendorong warganya menikah dan memiliki anak.
Distrik Saha yang berada di Busan Korea Selatan, telah mengesahkan undang-undang yang mengatur untuk kencan buta atau blind date. Acara perjodohan kencan buta itu diperuntukkan pada pria dan wanita lajang di Korea.
Program ‘blind date’ itu dijadwalkan akan dirlis pada Oktober 2024, dan ditujukan kepada pria dan wanita muda Korea Selatan dengan rentang usia 23 hingga 43 tahun yang tinggal atau bekerja di distrik tersebut.
Tidak sampai di sana, jika pasangan itu menjalin hubungan dengan serius, maka pemerintah setempat memberikan uang sebesar 2 juta Won atau sekira Rp23 juta. Syaratnya, mereka harus mempertemukan kedua anggota keluarga besar dan mengungkapkan keseriusannya.
Lebih dahsyatnya lagi, pasangan tersebut akan diberi 20 juta Won atau sekira Rp236 juta kepada pasangan tersebut apabila melangsungkan pernikahan. Bukan hanya uang, pasangan ini juga akan mendapat bonus dengan bebas biaya perumahan selama lima tahun.
Acara kencan buta itu merupakan uji coba yang dimulai tahun ini, jika dirasa berhasil maka program tersebut akan diperluas peserta, bahkan bisa melibatkan selain warga Korea Selatan.
Pengurangan popuasi atau depopulasi yang terjadi di Korea Selatan, juga dialami oleh Pemerintah Jepang. Penurunan jumlah populasi ini mulai terlihat sejak 2022.
Shujiro Urata, Ketua Lembaga Penelitian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang, dalam jurnal eastasiaforum yang diterbitkan pada 5 Maret 2024 menulis, jika tidak ada upaya serius dari pemerintah maka jumlah populasi Jepang akan mengalami perununan, dan di 2100 jumlahnya hanya mencapai 63 juta.
Ada beberapa alasan untuk depopulasi, salah satunya tingginya biaya ekonomi untuk memiliki dan membesarkan anak. Ini adalah masalah yang sangat serius bagi rumah tangga berpendapatan rendah, di mana para pencari nafkah sering kali adalah pekerja non-tetap.
Berdasarkan laporan tentang pendapatan rumah tangga oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan, pendapatan rata-rata yang dapat dibelanjakan dari rumah tangga yang dikepalai oleh pekerja non-tetap adalah sekira 60 persen dari pendapatan yang dikepalai oleh pekerja tetap. "Masalah ini mencerminkan kesenjangan pendapatan yang semakin lebar," tulisanya.
Alasan lainnya adalah perubahan gaya hidup. Di masa lalu, keluarga pada umumnya terdiri dari pria dan wanita yang menikah sebelum berusia 30 tahun dan kemudian memiliki anak. Sang istri membesarkan anak-anak tersebut sementara sang suami mencari nafkah. Pola ini berubah seiring orang-orang mulai mengejar aspirasi mereka sendiri dan masyarakat mulai menerima keberagaman.
"Sebagai cerminan perubahan ini, jumlah pernikahan per 1000 orang menurun dari 10 pada tahun 1970 menjadi 6,4 pada tahun 2000 dan menjadi 4,1 pada tahun 2022."
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida merumuskan ' Arah Strategi Masa Depan Anak ' pada bulan Juni 2023 dengan tujuan menghentikan penurunan jumlah kelahiran.
Rencana peningkatan populasi ini dengan memberikan bantuan keuangan kepada pasangan muda untuk membesarkan anak. Langkah itu mencakup peningkatan tunjangan anak dan perluasan bantuan ekonomi untuk kelahiran anak dan pendidikan tinggi.
Batasan pendapatan untuk program tunjangan anak, yang mencakup anak-anak hingga sekolah menengah atas, telah dihapuskan. Pemerintah tengah mempertimbangkan pengeluaran sekira 3 triliun yen atau USD20 miliar untuk rencana tersebut setiap tahun selama tiga tahun ke depan.
Pada kesempatan yang sama Shujiro Urata mengatakan, konsekuensi dari populasi yang menurun dan menua sangat besar. PDB Jepang akan mengalami menurun seiring turunnya populasi usia kerja kecuali jika ada peningkatan besar dalam produktivitas.
Kekurangan tenaga kerja dan berdampak pada berbagai sektor dan profesi. Semakin banyak usaha kecil dan menengah yang tutup karena kurangnya penerus. Profesi yang menyediakan layanan sosial dan publik seperti guru, dokter, dan perawat menghadapi kekurangan tenaga kerja yang parah.
Dampak negatif depopulasi terhadap perekonomian juga sangat terasa di daerah pedesaan. Sedangkan efek negatif terhadap perekonomian dari populasi yang menua pasti akan menyebabkan standar hidup Jepang menurun.
(Kemas Irawan Nurrachman)