DIAGNOSIS penyakit kini semakin mudah dengan kehadiran teknologi baru melalui stetoskop yang kini dilengkapi dengan teknologi AI (Artificial Intelligence).
Seperti diketahui, kehadiran stetoskop di dunia telah ada selama hampir 200 tahun dan masih dikalungkan di leher setiap dokter atau dimasukkan ke dalam saku jas lab. Fungsi stetoskop yang penting adalah penilaian terhadap suara detak jantung, apakah normal atau tidak. Dokter dapat mengetahui irama jantung yang tidak teratur melalui stetoskop.
Meski begitu, peran stetoskop konvensional saja tidak cukup besar untuk penegakan diagnosis pada jenis penyakit jantung koroner. Misalnya, dari angina pektoris stabil sampai acute myocard infarction dan gagal jantung, yang merupakan komplikasi dari berbagai penyakit jantung.
Karena itulah, kehadiran stetoskop dengan teknologi AI ini dinilai bisa membantu memaksimalkan fungsinya untuk mentransmisikan energi suara dari jantung dan paru menjadi data digital.
Lantas, apakah stetoskop dengan teknologi AI ini sudah ada dan diterapkan untuk praktik medis di rumah sakit Indonesia? Berikut ulasannya, melansir dari siaran pers Kemenkes RI, Rabu (19/6/2024).
Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Dr. dr. Anwar Santoso mengatakan, peran stetoskop dalam mendiagnosis penyakit jantung dan pembuluh darah masih diperlukan oleh semua dokter yang melayani pasien.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI sudah merekomendasikan deteksi dini penyakit jantung sangat dianjurkan pada orang-orang usia di atas 40 tahun dan juga kelompok risiko tinggi, misalnya pada mereka yang memiliki hipertensi atau diabetes.

Untuk memeroleh hasil diagnosis akurat, terdapat skrining atau pemeriksaan penunjang, yaitu dengan rekam jantung (elektrokardiografi), treadmill test, USG jantung (ekokardiografi) dan lainnya.
Selaras dengan rekomendasi di atas, dr. Anwar Santoso menegaskan, upaya penegakan ‘diagnosis pasti’ dari semua penyakit jantung dan pembuluh darah tetap membutuhkan alat-alat penunjang.
“Dibutuhkan alat-alat penunjang seperti Chest X-ray, pemeriksaan laboratorium terkait, Echocardiography, cardiac-MRI, dan CT-scan. Masing-masing pemeriksaan penunjang tersebut ada indikasi untuk penyakit-penyakit jantung dan pembuluh darah yang sudah saya sebutkan tadi,” ujar dr.Anwar.
Adapun untuk praktik medis di rumah sakit, sejauh ini para dokter di seluruh rumah sakit di Indonesia masih menggunakan stetoskop konvensional.
“Jadi, stetoskop konvensional masih dipakai karena teknologi ini (stetoskop AI) belum masuk dan diterapkan di Indonesia. Tentunya, stetoskop konvensional dipakai sebagai langkah diagnostik awal, sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut,” terang dr. Anwar.
Potensi AI untuk Transformasi Kesehatan
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin pada 3 Juni 2024 menyatakan, penggunaan teknologi Artificial Intelligence di bidang kesehatan akan memberikan dukungan kesehatan yang lebih akurat. Hal ini dapat membawa perubahan signifikan bagi peningkatan layanan kesehatan di Indonesia.
Salah satunya, dalam mendeteksi penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dengan lebih mudah, cepat, dan presisi. Pemanfaatan AI dalam dunia kesehatan turut sejalan dengan dukungan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO memandang AI punya potensi dalam mentransformasi kesehatan global.
Transformasi kesehatan ini menyasar dengan penyediaan alat-alat canggih, pengembangan obat, administrasi, diagnosis, pengobatan, dan perawatan pasien. Potensi alat berteknologi AI tersebut diharapkan meningkatkan akses terhadap layanan, mengatasi kekurangan tenaga kerja, dan mengurangi biaya sistem kesehatan.
Namun, keberhasilan AI bergantung pada tata kelola, kesetaraan, data, peraturan, kebijakan, dan lainnya. Pesatnya pertumbuhan AI menggarisbawahi kebutuhan mendesak yang akan mendorong kolaborasi untuk memanfaatkan AI di dunia kesehatan sekaligus memastikan keadilan dan inklusi, serta perlindungan hak asasi manusia dan privasi.
Pada panduan yang terbit 27 Mei 2024 berjudul, Artificial Intelligence for Health, WHO mendukung negara-negara untuk membangun ekosistem AI yang aman dan adil di bidang kesehatan. Serta, memfasilitasi berbagi pengetahuan dengan memberikan lokakarya juga pengarahan untuk mendukung implementasi ekosistem AI.
WHO berkolaborasi dengan para ahli dan pemangku kepentingan dalam bidang kesehatan untuk memfasilitasi penggunaan AI di bidang kesehatan. WHO pun menawarkan tools untuk memandu pengambil keputusan dalam mempertimbangkan manfaat dan risiko penerapan AI.
(Leonardus Selwyn)