Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kisah Kubah Masjid Sunan Kalijaga yang Lenyap dan Kembali dengan Sendirinya

Erfan Erlin , Jurnalis-Jum'at, 29 Maret 2024 |11:06 WIB
Kisah Kubah Masjid Sunan Kalijaga yang Lenyap dan Kembali dengan Sendirinya
Masjid Sunan Kalijaga di Gunungkidul, DIY (Foto: Erfan Erlin)
A
A
A

PENYEBARAN agama Islam di wilayah Gunungkidul, DIY tak pernah lepas dari perjuangan Sunan Kalijaga, salah satu wali songo di tanah Jawa. Konon Sunan Kalijaga mengembara dari satu tempat ke tempat lain di Gunungkidul.

Salah satunya adalah di Kapanewon Panggang. Di mana di Kapanewon ini ada dua masjid yang konon merupakan masjid tempat Sunan Kalijaga menyebarkan ilmunya di kawasan Kapanewon di sisi selatan Gunungkidul.

Adalah Masjid Sunan Kalijaga di Padukuhan Blimbing, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Gunungkidul. Masjid ini cukup berbeda dengan masjid pada umumnya. Sesuai namanya, konon masjid ini merupakan peninggalan Sunan Kalijaga. Sehingga diyakini umurnya cukup tua.

Sesepuh warga, sekaligus takmir masjid, Marjiyo (68) mengisahkan, berdasar cerita tutur yang diterima, pertama kali bangunan yang didirikan bukan merupakan masjid, melainkan Tajuk. Tajuk merupakan bangunan kecil untuk beribadah, bahannya terbuat dari anyaman bambu.

Tajuk didirikan oleh Sunan Kalijaga untuk tempat beribadah Ki Ageng Pemanahan. Ternyata, selain Tajuk juga ada sebuah sumur yang letaknya di sebelah selatan Tajuk. Dua bangunan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal masjid Sunan Kalijaga.

Ki Ageng Pemanahan atau yang memiliki nama muda Ki Bagus Kacung berada di wilayah tersebut sedang menjalankan semadi atau tapa untuk mencari petunjuk mengenai wahyu keraton atas arahan Sunan Kalijaga.

"Konon beliau sering menjalankan rutinitas bertapa di sebuah bukit," kata dia.

Ki Ageng Pemanahan sering bertapa di bukit yang awalnya bernama Kembang Semampir. Dan Tajuk yang dibangun Sunan Kalijaga ini digunakan oleh Ki Ageng Pemanahan untuk beribadah ketika waktunya tiba.

Sunan Kalijaga

(Foto: Istimewa)

Letak Tajuk berjarak sekitar beberapa ratus meter dari lokasi bertapa yang kini dikenal dengan sebutan Kembang Lampir (lokasi turunnya wahyu Mataram). Kini Kembang Lampir juga menjadi tempat petilasan yang sering dikunjungi untuk berziarah

Lambat laun, warga sekitar kemudian memanfaatkan Tajuk tersebut. Warga merawat peninggalan Sunan Kalijaga itu dari generasi ke generasi. Dan pada zaman penjajahan Belanda kubah atau mustaka Tajuk sempat hilang.

Hilangnya kubah Tajuk berbahan tanah liat tersebut diakibatkan oleh perbuatan orang-orang Belanda. Mustaka hilang tanpa diketahui keberadaannya usai Tajuk dibakar oleh penjajah.

Konon, ketika Belanda hendak menghakimi orang yang dianggap bersalah, setiap kali bersembunyi di dalam Tajuk selalu selamat. Melalui mata-mata Belanda, barulah diketahui bahwa tempat persembunyiannya berada di dalam Tajuk.

"Sehingga agar Tajuk tidak digunakan oleh warga untuk bersembunyi maka dibakarlah Tajuk tersebut," kenangnya.

Saat hendak dibangun kembali, warga masyarakat tidak lagi memiliki kubah sebagai penutup atap. Warga kemudian berinisiatif membelinya di wilayah Klaten.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement