PENERBANGAN telah lama menghadirkan segudang tantangan. Baik saat keberangkatan penerbangan tertunda, kehilangan bagasi, maupun antrean panjang di pos pemeriksaan keamanan.
Kini, para ilmuwan menunjukkan kekhawatiran yang mungkin lebih besar. Adanya peningkatan turbulensi parah yang dapat menyebabkan perubahan ketinggian secara tiba-tiba dan cedera serius.
Para peneliti Inggris menemukan bahwa turbulensi parah telah meningkat sebesar 55 persen sejak tahun 1979, kemungkinan akan semakin sering terjadi seiring dengan pemanasan bumi.
Pemanasan global menyebabkan gangguan pada jet stream – arus sempit udara yang bergerak cepat pada pesawat untuk mendapatkan peningkatan kecepatan.
Puluhan ribu pesawat mengalami turbulensi parah setiap tahunnya. Perkiraan kerugian yang ditanggung sektor penerbangan global mencapai 826 juta pound atau Rp14 triliun yang disebabkan oleh cedera, kerusakan struktural pesawat, dan penundaan penerbangan.
Studi baru ini dilakukan oleh para peneliti di University of Reading dan diterbitkan di Geophysical Research Letters.
“Setelah penelitian selama satu dekade menunjukkan bahwa perubahan iklim akan meningkatkan turbulensi udara jernih di masa depan, kini kami memiliki bukti yang menunjukkan bahwa peningkatan tersebut telah dimulai,” kata penulis studi, Profesor Paul Williams mengutip Daily Mail.
“Kita harus berinvestasi dalam sistem prakiraan dan deteksi turbulensi yang lebih baik. Demi mencegah kondisi udara yang lebih buruk berubah menjadi penerbangan bergelombang dalam beberapa dekade mendatang,” tambah Paul.
Beberapa turbulensi pesawat terjadi di lokasi tertentu, seperti di pegunungan atau di sekitar badai konvektif, dan sebagian besar dapat dihindari.
Namun, jenis turbulensi tertentu yang disebut Clear Air Turbulence (CAT) tidak terlihat. Terjadi ketika massa udara yang bergerak dengan kecepatan berbeda bertemu.
CAT sulit untuk diamati sebelum jejak pesawat menggunakan metode penginderaan jauh dan menantang bagi ahli meteorologi penerbangan untuk memperkirakannya.
“Masalah utama (CAT) adalah Anda tidak dapat melihatnya,” kata Ramalingam Saravanan, profesor di Departemen Ilmu Atmosfer Universitas Texas A&M.
Menurut Ramalingam, cara terbaik bagi pilot untuk mengetahuinya adalah ketika pilot lain telah terbang melewatinya dan mengirimkan radio kembali, memberi tahu mereka lokasinya.
“Anda dapat mencoba memprediksinya secara statistik, namun Anda tidak dapat memprediksinya berdasarkan kasus individual karena ini merupakan proses acak, dan udara terlihat bersih dan tidak berbahaya – sesuai dengan namanya,” jelasnya.
Untuk penelitian tersebut, tim University of Reading menganalisis data atmosfer antara tahun 1979 dan 2020 untuk mengetahui apakah CAT sudah mulai meningkat.
“Kami menggunakan kumpulan data yang disebut ERA5. Kumpulan data ini berisi informasi tentang atmosfer masa lalu, misalnya suhu dan kecepatan angin. Kami gunakan sebagai dasar penelitian ini,” kata penulis studi Mark Prosser, ahli meteorologi di University of Reading.
Pada titik tertentu di Atlantik Utara – salah satu rute penerbangan tersibuk di dunia. Total durasi tahunan turbulensi parah meningkat sebesar 55 persen dari 17,7 jam pada tahun 1979 menjadi 27,4 jam pada tahun 2020, demikian temuan penelitian tersebut.
Turbulensi sedang meningkat sebesar 37 persen dari 70 menjadi 96,1 jam, dan turbulensi ringan meningkat sebesar 17 persen dari 466,5 menjadi 546,8 jam.

Meskipun Amerika Serikat dan Atlantik Utara mengalami peningkatan turbulensi terbesar, para ahli menemukan bahwa rute penerbangan sibuk lainnya di Eropa, Timur Tengah, dan Atlantik Selatan juga mengalami peningkatan turbulensi yang signifikan.
Peningkatan CAT lebih besar di belahan bumi utara dibandingkan belahan bumi selatan, sehingga memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Menurut tim, penelitian mereka mewakili bukti terbaik bahwa turbulensi udara jernih telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir, sejalan dengan peningkatan pemanasan global.
(Rizka Diputra)