Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Sejarah Kampung Malaumkarta, Warisan Trikora yang Kini Jadi Permata di Bumi Cenderawasih

Antara , Jurnalis-Selasa, 13 Juni 2023 |04:45 WIB
Sejarah Kampung Malaumkarta, Warisan Trikora yang Kini Jadi Permata di Bumi Cenderawasih
Kampung Wisata Malaumkarta, Papua Barat (Foto: kemenparekraf.go.id)
A
A
A

INDONESIA memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, momen tak serta merta langsung mengantarkan Indonesia menjelma sebagai negara yang merdeka seutuhnya.

Ya, berbagai problematika muncul, seperti sengketa wilayah kedaulatan yang tidak secara otomatis rampung begitu saja setelah Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Indonesia saat itu tidak tinggal diam dengan melakukan berbagai upaya dalam memperjuangkan keutuhan kemerdekaannya.

Salah satunya adalah dengan terlaksananya Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) sebagai upaya pembebasan Irian Barat (Sekarang Papua Barat dan Papua Barat Daya) dari Belanda yang menjadi kenangan sejumlah masyarakat setempat yang waktu itu menjadi saksi.

Malaumkarta

(Foto: ANTARA/Sean Filo Muhamad)

Salah satunya adalah Tokoh Masyarakat Hukum Adat Suku Moi, Benyamin Kalami (65), yang menjadi salah seorang saksi bagaimana situasi Irian Barat ketika Operasi Trikora berlangsung di wilayahnya.

Namun siapa sangka, dari peristiwa tersebut juga melahirkan sebuah kampung yang kini menjadi permata nan indah di Papua Barat Daya, seusai Operasi Trikora. Kampung tersebut dikenal sebagai Kampung Malaumkarta.

Malaumkarta merupakan nama sebuah kampung yang terletak di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, yang memiliki jumlah penduduk sekitar 300 jiwa pada 2018.

Sejarah Kampung Malaumkarta

Benyamin Kalami, yang akrab dipanggil Bapak Beka, menjelaskan, berdirinya Kampung Malaumkarta diinisiasi oleh prajurit Kodam V/Brawijaya yang membuat sebuah kampung pengungsian dari sejumlah dusun yang ada di sekitar wilayah Kampung Malaumkarta yang pada saat itu belum dibentuk.

"Awalnya, daerah yang dibuat ini (merujuk kepada Kampung Malaumkarta) namanya Kampung Brawijaya, Distrik Makbon," ujarnya saat di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, seperti dikutip dari laman ANTARA.

Pada masa pendudukan Belanda di Irian Barat, daerah tersebut merupakan daerah yang cukup berbahaya, hingga mengakibatkan sejumlah warga harus mengungsi ke beberapa tempat, seperti Pulau Um, yang berjarak sekitar 10 km dari Malaumkarta.

Hingga tahun 1962 tibalah pasukan Raider dari Kodam V/Brawijaya di kampung sebelah, merujuk ke kawasan lama Kampung Suatolo.

Kemudian, warga yang mengevakuasi diri ke Pulau Um mulai dikembalikan ke kampung asalnya. Hanya saja, kala itu, banyak di antara mereka yang lebih memilih untuk menetap di kawasan yang dibuka oleh pasukan Kodam V/Brawijaya.

Setelahnya, nama daerah tersebut lebih dikenal sebagai Kampung Brawijaya hingga Penentuan pendapat rakyat (Pepera) diadakan pada 1969 sebagai proses pemilihan umum untuk memilih, apakah rakyat Irian Barat memilih untuk merdeka atau bergabung dengan Indonesia.

Malaumkarta

(Foto: ANTARA/Sean Filo Muhamad)

Pada tahun itu, seluruh tokoh adat di Irian Barat dibawa ke Jakarta untuk bermusyawarah. Seluruh warga Kampung Brawijaya yang berasal dari Suku Moi menyambut kehadiran tokoh adat, sepulangnya dari Jakarta.

Tak lama setelah mendapat kabar bahwa Irian Barat bergabung dengan Indonesia, maka perlahan situasi mulai kondusif dan beberapa pasukan Kodam V/Brawijaya meninggalkan lokasi tersebut.

Namun, penamaan Kampung Brawijaya bukanlah penamaan resmi. Hal itu pula yang menyebabkan masyarakat setempat harus memberikan nama kepada kampung yang dihuninya.

Kata Mala itu artinya gunung (merujuk pada wilayah dataran tinggi di selatan Malaumkarta) dalam Bahasa Moi, um itu berasal dari Pulau Um, dan karta itu mengambil dari tokoh adat yang waktu itu ikut konferensi di Jakarta, akhirnya terciptalah nama Malaumkarta.

Permata di Papua

Saat ini, wilayah Kampung Malaumkarta dimekarkan menjadi lima desa, yakni Malaumkarta, Suatolo, Sawatut, Malagufuk, dan Mibi, yang tergabung dalam daerah yang dijuluki sebagai Malaumkarta Raya.

Kelima wilayah tersebut merupakan wilayah yang dihuni oleh mayoritas Suku Moi, yang telah diakui sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) sejak 2017 oleh Pemerintah Kabupaten Sorong.

Sejumlah spesies duyung masih dapat dijumpai dengan mudah di wilayah tersebut. Selain itu, Pulau Um yang berarti Pulau Kelelawar dalam bahasa Moi, juga merupakan habitat asli Kelelawar di daerah tersebut.

Malaumkarta

(Foto: ANTARA/Sean Filo Muhamad)

Salah satu keunikan dari Pulau Um bisa dilihat ketika sore hari, di mana kelelawar yang tidur di siang hari meninggalkan sarangnya pada waktu sore, dan bergantian dengan burung camar untuk beristirahat pada malam hari.

Selain itu, Pulau Um juga merupakan tempat penetasan telur Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) yang merupakan spesies penyu raksasa satu-satunya yang masih hidup dari Suku Dermochelyidae yang masih hidup.

Potensi wisata alam di wilayah itu juga mencakup bangkai pesawat peninggalan Jepang yang karam tidak jauh dari pesisir pantai Kampung Malaumkarta, yang kini menjadi rumah bagi sejumlah biota laut.

Kampung Malaumkarta merupakan satu-satunya peserta yang berasal dari Papua yang masuk ke dalam 75 besar Anugrah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023 oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Malaumkarta

(Foto: ANTARA/Sean Filo Muhamad)

Dengan keberadaan Kampung Malaumkarta yang kaya akan potensi wisata alamnya, dapat dikatakan bahwa Kampung Malaumkarta juga menjadi salah satu permata di Papua yang harus dijaga dan dikelola dengan baik.

(Rizka Diputra)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement