WAYANG merupakan seni tradisional milik Indonesia yang menampilkan banyak seni di dalamnya, seperti seni peran, suara, musik, bahkan sastra. Tapi, seni wayang memang cukup jauh dari generasi milenial dan Gen Z.
Oleh karena itu, dibutuhkan adaptasi terhadap perkembangan zaman, apabila budaya wayang tidak ingin ditinggalkan. Irwan Riyadi, penulis dan sutradara di gelaran pertunjukan “Hanoman: Ada Apa dengan Shinta” menyebut sudah seharusnya tradisi wayang berkembang sesuai zaman.
Artinya, pagelaran wayang tersebut harus dibuat yang sesuai dengan tren yang ada. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mengubah naskah tersebut menjadi bahasa Indonesia, karena wayang sudah punya kekuatan tradisi.
"Kalau hanya bahasa yang diubah enggak bisa juga, maka kita perlu mengembangkan musiknya, kostumnya tapi secara nilai tetap wayang adalah nilai-nilai kebaikan. Wayang terap pewayangan manusia agar tetap hidup lebih baik. Itu semangat yang kita sampaikan,” tutur dia seperti dilansir dari keterangan tertulsnya.
Tak hanya itu, pewayangan juga harus dikolaborasikan dengan tren dan teknologi agar bisa dinikmati oleh anak muda. Dengan demikian, penyajian drama wayang bisa disesuaikan dengan orang yang belum mengenal dan memiliki unsur lokal.
"Makanya kita dekatkan dengan unsur teknologi, treatment seperti itu. Kayak banyak respon yang muncul, balik lagi cerita Hanoman bisa dibawa pulang, culture yang kita tawarkan di setiap movement, gerakan, dan musik kebawa di pikiran mereka,” paparnya.
Menurut dia, drama wayang pastinya juga harus melekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga ceritanya bisa diterima oleh anak-anak muda. “Wayang adalah penggambaran kehidupan manusia tapi secara gimana kita menyampaikan kepada siapa itu problem. Kalau saya sukanya klasik, tapi saya ada tanggung jawab sama generasi sekarang,” ucap Irwan
“Tradisi berkembang sesuai zaman, itulah yang membuat wayang bisa tetap dicintai oleh anak-anak muda kalau kita mau bergerak. Wayang tetap hidup kalau kita punya tafsir baru melalui zamannya anak muda,” sambunganya.
Membahas mengenai wayang yang sudah semakin dikemas jadi modern, menurut Irwan hal itu tidak melanggar pakem dari wayang itu sendiri.
“Pakem bagi saya nilai tawar. Suatu konsep ketika dilepas masyarakat dan masyarakat menyukai mengagumi akan jadi pakem. Secara nilai wayang tetap punya gambaran nilai-nilai kenaikan. Kita nggak mungkin terus nostalgia. Wayang harus terus berkembang. Pro dan kontra pasti ada siapapun itu,” bebernya.
“Secara konsep besar bahwa kita harus tidak kenal lelah gimana seni wayangnya ini tetap dicintai anak-anak muda. Ada seniman, ada penonton dan yang nanggap atau membiayai. Okelah sesekali harus pentas skala besar, tapi di pola-pola kecil di daerah juga harus hidup. Kayak di bali lah. Itu yang masih jadi pekerjaan rumah (PR) kita,” katanya.
Executive Vice President Corporate Communication & Social Responsibility BCA, Hera F Haryn mengatakan, acara ini melibatkan lebih dari 100 pemuda dan pelajar bertalenta, serta mencatat lebih dari 1.000 pengunjung yang berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa, hingga pihak Kementerian dan Lembaga.
“Kegiatan ini merupakan misi kami untuk membangun karakter masyarakat melalui penanaman pengetahuan akan pewayangan, sejarah, tradisi, makna kebudayaan turun-temurun, kearifan lokal dan menjaga keberlanjutan usaha pewayangan melalui penambahan jumlah pelaku atau pelestari seni wayang dari generasi muda,” ujar Hera.
Pagelaran drama wayang ini menampilkan karakter populer dari wiracarita Ramayana Hanoman yang dipresentasikan secara modern. Diiringi oleh lantunan orkestra gamelan, penonton diajak mengikuti perjalanan Hanoman Sang Anjani Putra, kera sakti berbulu putih berkilau yang lahir dari rahim manusia yang penuh dengan ketidaksempurnaan.
(Martin Bagya Kertiyasa)