BALI merupakan ikon pariwisata Indonesia paling diminati wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Oleh karenanya, Pulau Dewata harus senantiasa berbenah diri dengan menjaga kualitas pariwisatanya sehingga wisatawan yang datang pun merasa puas.
Namun belakangan, sampah plastik yang kerap mencemari laut Bali justru menjadi masalah bersama yang harus dicarikan solusinya.
Betapa tidak, pencemaran sampah plastik di laut merupakan masalah yang kompleks dan tidak mengenal batas wilayah atau negara. Permasalahan datang tidak semata-mata langsung dari laut, namun lebih jauh ke hulu, seperti bagaimana industri memproduksi dan mendistribusikan produk plastik.
Terkait masalah tersebut, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan, menurut Sustainable Travel Report, sebanyak 83 persen wisatawan menganggap perjalanan berkelanjutan itu penting dan 62 persen wisata global lebih memilih destinasi dan akomodasi yang bersertifikasi ramah lingkungan.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pun mencoba menyikapi adanya perubahan tren global pariwisata dengan mengembangkan destinasi wisata menjadi smartgreen destination.
(Foto: Ist)
“Adanya ketimpangan antara sosial-budaya serta ekonomi dan lingkungan menjadi PR (pekerjaan rumah), di mana salah satunya adalah pengelolaan sampah responsible atau bertanggungjawab. Untuk mewujudkan aksi nyata tersebut, perlu dilengkapi melalui proses komunikasi, informasi, edukasi, dan sosialisasi,” kata Sandi dalam seminar bertajuk 'Yok Yok Ayok Daur Ulang: Kelola Sampah Laut untuk Wujudkan Pariwisata Berkelanjutan' di Sanur, Bali yang dihadiri via daring, Sabtu (10/12/2022).
Sementara itu, Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati atau yang akrab disapa Cok Ace dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan bahwa sektor pariwisata di Bali saat ini sedang dalam pemulihan. Masa transisi kembalinya wisatawan ke Bali ini harus diimbangi dengan kesiapan destinasi wisata dari aspek-aspek seperti salah satunya kebersihan.
“Merawat lingkungan sudah menjadi kewajiban masyarakat Bali sejak dulu untuk menjaga kearifan Bali. Namun, seiring terjadinya transformasi mata pencaharian, terjadi kevakuman tanggung jawab. Kewajiban ini perlu diingat dan diimplementasikan kembali di masa sekarang,” kata Cok Ace.
Lingkungan termasuk pantai memiliki banyak fungsi bagi masyarakat Bali yang sebagian besarnya dikelilingi oleh pantai, mulai dari fungsi budaya, konservasi, transportasi, dan lain-lain. Namun, persoalan terkait pencemaran sampah tidak dapat dihindari, mulai dari sampah kayu pada musim-musim tertentu, limbah cair, bahkan limbah minyak di daerah-daerah pelabuhan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali, I Made Teja mengklaim, pihaknya telah berusaha dari hulu ke hilir memerhatikan masalah lingkungan, dari gunung, danau, sungai, mata air hingga ke pantai dan laut. Sebab, berbicara lingkungan tentu bersifat multi-sektor.
"Berdasarkan kebijakan Gubernur terkait pengelolaan sampah berbasis sumber, kami terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat terkait implementasinya,” jelas kata I Made Teja.
Pada kesempatan yang sama, mewakili pihak industri, Director of Environment & Sustainability Affairs Responsible Care Indonesia, Hanggara Sukandar menjelaskan, proses pemilahan sampah plastik akan mendukung proses daur ulang yang saat ini sudah dapat dilakukan dengan terus berkembangnya teknologi.

“Sudah banyak jenis plastik yang dapat didaur ulang, mulai dari PET, PS, PP, dan lain-lain. Namun, sosialisasi tentang kegiatan pengelolaan dan pemilahan jenis sampah plastik ini masih perlu dilakukan karena belum semua masyarakat memahami hal tersebut,” ujar Hanggara.
Meski demikian, dalam mengatasi permasalahan sampah perlu dilihat secara menyeluruh atau holistik. Di mana menurut data yang ada, saat ini 80 persen sampah laut di Indonesia berasal dari daratan dan 30 persen dikategorikan sebagai sampah plastik.
Kesadaran masyarakat untuk memilah dan mengelola sampah akan mendukung ekosistem tata kelola sampah sehingga sampah tidak berujung mencemari lingkungan. Selain itu, sampah yang dikelola dengan baik mampu menghasilkan nilai tambahan (added value) yang mampu mendorong ekonomi sirkular.
(Rizka Diputra)