Tak ketinggalan pula, jam matahari atau sundial sebagai alat yang menunjukkan waktu masuk salat sebelum adanya jam, atau masyarakat sekitar mengenalnya dengan nama benjet. Benjet ini kini diletakkan di halaman depan masjid, sebagai penghias bangunan masjid lantaran sudah ada jam.
Sayang konstruksi Masjid Nurul Huda ini memang lebih modern, pasalnya faktor alam terpaan banjir jadi alasan utamanya. Beberapa renovasi menyeluruh dilakukan di tahun 2014 hingga 2015. Ya, letaknya yang berjarak sekitar 100 meter dari Sungai Bengawan Solo membuat masjid ini rentan tergenang banjir dari aliran anak Sungai Bengawan Solo yang ada tak jauh juga dari bangunan masjid.
"Kami sengaja meninggikan 1 meter karena kalau banjir ini setiap Salat Jumat tidak bisa digunakan. La masak kalau lagi banjir sebulan bisa 2 kali kebanjiran, terus gak salat Jumat," tutur Hakim.
Maka faktor itulah yang akhirnya membuat konstruksi sebagian besar masjid diperbarui dan terkesan lebih modern.
"Sebenarnya sayang kalau dipugar dari bangunan aslinya. Tapi mau bagaimana lagi harus ditinggikan, tapi tidak mengubah gaya arsitek lama masjid hanya ditinggikan dan terlihat lebih modern saja," katanya.
Alhasil karena itulah, beberapa konstruksi masjid seperti marmer kuno yang ada di bagian depan masjid sebagian rusak dan disusun ulang dan diletakkan di bagian samping kiri masjid.
Selain konstruksi masjid yang jadi 'korban' alam, terdapat kitab - kitab tulisan huruf arab kuno karya Ki Ageng Wiroyudo yang bertuliskan tangan di sebuah kertas yang sudah berusia ratusan tahun juga harus rusak termakan ganasnya alam.
"Ada Kitab tulisan arab gundul peninggalan Mbah Buyut Wiroyudo, dari tulis tangan berbahan kertas, sekarang rusak terkena banjir," ujarnya.
(Kurniawati Hasjanah)