Bahkan tradisi moci di Tegal lebih populer daripada di Slawi yang merupakan kota yang hebat akan industri tehnya. Bagi masyarakat Tegal, teh telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
Sampai ada istilah 'Jangan mengaku orang Tegal asli bila tidak suka minum teh'.
Selain masyarakat Tegal, tradisi moci ini juga dekat dilakukan masyarakat kota lain yang letak geografisnya dekat dengan Tegal, seperti Slawi, Brebes, Pemalang dan sekitarnya.
Teh poci yang disuguhkan saat moci memiliki istilah Wagistel yang merupakan singkatan dari wangi, panas, sepet, legi (manis) dan kentel (Kental). Istilah itu disematkan karena teh poci biasa disuguhkan dengan panas, wangi bunga melati, manis dan berwarna hitam pekat.
Bahan dasar teh poci tentu saja dari daun teh hijau atau teh melati yang dapat menciptakan aroma yang khas. Masyarakat Tegal biasanya menyajikan teh poci pada pagi, sore atau malam hari dengan makanan ringan pendamping.
Uniknya dari tradisi moci ini ada pada poci atau teko yang digunakan untuk mewadahi tehnya. Poci itu tidak pernah dicuci tetapi hanya dibuang sisa teh yang sebelumnya saja. Hal itu dilakukan karena mereka percaya kerak sisa teh sebelumnya akan menambah cita rasa dan aroma teh poci menjadi lebih nikmat.
Nilai filosofi dari tradisi moci ini ada pada teknik penyuguhannya. Teh poci hitam yang pahit akan dituangkan ke gelas yang berisi gula batu. Akan tetapi pantangannya adalah gula batu itu dilarang diaduk agar dapat melarut dengan sendirinya. Arti dari cara penyajian itu adalah kehidupan memang akan terasa pahit dan gelap di permulaan.
Namun ketika kita mampu untuk bersabar, kehidupan itu akan berubah dari terasa pahit menjadi manis dengan sendirinya. Tradisi minum teh poci berbeda dengan tradisi minum teh lainnya seperti medang. Letak perbedaanya ada pada penyuguhan dengan poci agar bisa langsung nambah tehnya.
Jika memang disuguhkan tanpa poci melainkan langsung di gelas atau cangkir. Nilai sosial yang bisa diambil dari tradisi moci ini adalh solidaritas dan kesetaraan atau egaliter.
Masyarakat yang melakukan tradisi moci ini biasa melakukannya di dapur yang merupakan ruangan lebih intim daripada ruang tamu.
Kemudian sudah tidak menggunakan kursi tetapi secara lesehan yang beralaskan tikar sehingga sudah setara dan tidak memiliki jarak diantara orang yang meminum teh poci.
Tentunya obrolannya juga menggunakan bahasa yang lebih akrab dan dekat.
(Kurniawati Hasjanah)