Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Jurnalis Selandia Baru yang Hamil Ditolak Masuk ke Negaranya, Akhirnya Minta Bantuan

Anisa Suci Maharani , Jurnalis-Selasa, 01 Februari 2022 |19:05 WIB
Jurnalis Selandia Baru yang Hamil Ditolak Masuk ke Negaranya, Akhirnya Minta Bantuan
Ilustrasi traveling (dok Freepik)
A
A
A

WELLINGTON - Charlotter Bellis, jurnalis Selandia Baru yang hamil ditolak masuk ke negara asalnya karena sistem karantina virus corona.

Kini, ia terdampar di Afghanistan dan meminta bantuan kepada Taliban.

Melansir News.com.au, dia belum menikah dan membuat situasinya ilegal di bawah aturan pemerintah Taliban. Bellis gagal diberikan pengecualian untuk masuk ke NZ, yang saat ini perbatasannya ditutup karena Covid-19.

Dalam sebuah kolom yang diterbitkan di New Zealand Herald p, Charlotte Bellis mengatakan, "Sangat ironis, saya menanyai Taliban tentang perlakuan mereka terhadap wanita dan saya sekarang mengajukan pertanyaan yang sama kepada pemerintah saya sendiri."

"Ketika Taliban menawarkan Anda (seorang wanita hamil yang belum menikah) tempat yang aman, Anda tahu situasi Anda kacau," tulis Bellis di kolomnya.

infografis

BACA JUGA:Luncurkan Aplikasi Tlusure, Sandiaga: Semoga Wisatawan Makin Nyaman Berwisata di Tanah Air

Tahun lalu, Bellis bekerja untuk Al Jazeera meliput penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan. Bellis mengatakan dia kembali ke Qatar pada bulan September dan dinyatakan hamil dengan pasangannya, fotografer lepas Jim Huylebroek, seorang kontributor The New York Times.

Kehamilan Bellis adalah sebuah keajaiban. Dia diberitahu dokter bahwa dia tidak akan pernah punya anak.

Bellis dan Jim membuat rencana untuk merahasiakan semuanya sampai Bellis keluar dari Qatar dengan aman. Wanita itu kemudian mengundurkan diri dari Al Jazeera pada bulan November. Dia juga kehilangan penghasilan, asuransi kesehatan, dan tempat tinggal.

Dia merasa sedikit lega setelah pemerintah mengumumkan bahwa Selandia Baru akan terbuka untuk warga negara pada akhir Februari. Bellis hamil 29 minggu dan bisa kembali tepat waktu untuk lahiran di bulan Mei. Dia dan Jim memesan penerbangan pulang.

Mereka harus pergi ke tempat lain sampai Selandia Baru dibuka. Masalahnya adalah satu-satunya tempat yang bisa mereka tinggali yaitu Afghanistan. Keadaan menjadi lebih kacau saat pembukaan pembatasan Selandia Baru ditunda.

Bellis mengatakan, dia telah berbicara dengan kontak senior Taliban yang mengatakan kepadanya bahwa dia akan baik-baik saja jika dia kembali ke Afghanistan. "Katakan saja kepada orang-orang bahwa Anda sudah menikah dan jika itu meningkat, hubungi kami. Jangan khawatir," kata senior itu kepada Bellis.

Dia sudah mendapat surat dari dokter kandungan dan ahli medis Selandia Baru untuk mengkonfirmasi bahaya melahirkan di Afghanistan dan dampak stres yang tinggi selama kehamilan.

Dia mengatakan, dia telah mengirim 59 dokumen ke otoritas Selandia Baru di Afghanistan tetapi mereka menolak permohonannya untuk pengembalian darurat.

Baru-baru ini PBB menulis tentang kemungkinan ada tambahan 50.000 wanita meninggal saat melahirkan di Afghanistan pada tahun 2025 karena keadaan perawatan bersalin. "Di sini, hamil bisa menjadi hukuman mati," tulis Bellis.

"Jadi, kami akan bertarung. Saya tidak akan melahirkan di Afghanistan. Saya bertekad untuk pergi 30 minggu karena takut melahirkan lebih awal. Dalam hal ini perawatannya mungkin berupa selimut hangat dan doa," lanjutnya.

Bellis hanya bisa terisak di jendela kamar setelah mendapat beberapa kali penolakan. Dia berada dalam kondisi membutuhkan bantuan, namun Pemerintah Selandia Baru mengatakan dia tidak diterima di sini.

Chris Bunny, kepala gabungan sistem Isolasi dan Karantina Terkelola Selandia Baru, mengatakan kepada NZ Herald bahwa aplikasi darurat Bellis tidak sesuai dengan persyaratan bepergian dalam 14 hari.

Dia mengatakan, staf telah menghubungi Bellis tentang membuat aplikasi lain yang sesuai dengan persyaratan.

"Ini tidak biasa dan merupakan contoh tim yang membantu warga Selandia Baru yang berada dalam situasi menyedihkan," tulis Bunny.

Bellis mengatakan, setelah berbicara dengan pengacara, politisi dan orang-orang hubungan masyarakat di Selandia Baru, kasusnya tampaknya bergerak maju lagi, meskipun dia belum disetujui untuk pulang.

(Kurniawati Hasjanah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement