Wahyuningsih juga mengungkapkan dampak yang terjadi bila RS tak mementingkan akreditasi. Misalnya RS akan dirugikan jika tidak segera melakukan akreditasi.
Lantaran salah satu masalah yang dihadapi RS bila belum terakreditasi, tak bisa bekerja sama dengan BPJS Kesehatan maupun asuransi swasta. Selain itu, izin operasional RS tersebut tidak akan diperpanjang pemerintah jika RS tidak juga melakukan akreditasi.
"Pemerintah harus menjamin masyarakatnya berobat di tempat yang betul. Karena akan dilihat juga SDM-nya, ada dokter spesialis yang kompeten tidak, ada gak izin praktiknya tidak, ada gak faskesnya, bagaimana pengelolaan manajemennya berpihak masyarakat atau tidak," ujarnya.
Data tercatat, dari 3.145 rumah sakit di Indonesia, baru 2.482 rumah sakit yang terakreditasi. Padahal di 2023, pemerintah menargetkan seluruh rumah sakit telah mengantongi akreditasi.
"Ini artinya pekerjaan rumah terkait persoalan akreditasi RS masih cukup panjang," imbuhnya .
Meski demikian, dia berharap bahwa akreditasi ini tidak dijadikan sebagai beban. Namun dijadikan pemacu untuk menaikkan kelas rumah sakit tersebut.
"Jika rumah sakit tersebut memiliki akreditasi yang baik, saya yakin jumlah pasien yang datang juga akan semakin banyak dan tingkat kepuasaan pasien pun akan semakin meningkat," imbuhnya.
Di sisi lain, Komisaris Utama Lembaga Akreditasi Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit (LAM-KPRS) Supriyantoro menambahkan, bila RS sudah terakreditasi, maka ada penilaian atau rapor.
"Akreditasi sangat penting guna memberikan jaminan dan kepuasan kepada masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit diselenggarakan sebaik mungkin."
"RS juga harus dinilai secara berkala, apakah dalam perjalanan pelayanannya sudah betul-betul memenuhi standar dan harapan masyarakat atau belum," tutupnya.
(Martin Bagya Kertiyasa)