Kala itu cuaca sedang tidak bersahabat. Gumpalan awan hitam yang sedari tadi berkumpul di atas kepala kami akhirnya pecah juga.
Kami segera bergegas menuju mulut goa dengan kondisi medan yang licin. Alhasil, proses panjat tebing yang seharusnya bisa dilalui sekira 5 menit menjadi sedikit lebih lama.
Bukan tanpa alasan, meski dibantu tali temali, kami tetap harus berhati-hati mencari celah dan pijakan yang aman. Bila tidak, maka konsekuensinya hanya ada dua. Membentur tebing atau jatuh ke jurang.
Namun berkat perjuangan dan semangat pantang menyerah, seluruh rombongan berhasil melewati rintangan tersebut.
Rasa lelah pun terbayar lunas ketika melihat langit-langit goa dipenuhi gambar cap tangan merah kecokelatan dan ungu. Beberapa diantaranya sudah memudar, terutama pada bagian depan goa.

Goa Tewet (Okezone.com/Dimas)
Selain itu, ada juga cap tangan berwarna pink, cap tangan dewasa, cap tangan anak-anak, imaji rusa, gecko, hingga sosok manusia. Semuanya terlihat indah sekali.
Menurut Pindi Setiawan, gambar-gambar cadas di Goa Tewet dan Sangkulirang secara keseluruhan, tak hanya terletak pada bentuk dan warnanya saja. Ada motivasi untuk membuat gambar-gambar yang diketahui telah berusia 40 ribu tahun tersebut.
“Keunikan paling jelas dari Sangkulirang adalah cat tangan yang diposisikan. Cat tangan itu tidak polos, tapi digabung-gabung. Saya menyebutnya jamak tapi tunggal. Ada yang dua tangan, tiga, bahkan ada yang sampai 6. Tapi jelas ada motivasi untuk menggambar tangan itu. Dan ini hanya ada di Sangkulirang, tidak ada di negara-negara lain,” jelas Pindi.
Setelah puas menikmati jejak-jejak pra sejarah itu, kami bergegas kembali ke camp sebelum matahari tenggelam di balik peraduannya. Esok hari, masih ada satu lagi petualangan yang menanti kami.
(Salman Mardira)