Hari Penampahan
Memiliki makna Nampa atau yang berarti menyambut, persis seperti pelaksanaannya yang dilakukan tepat pada Selasa Wage wuku Dungulan (1 hari sebelum). Sembari menyiapkan berbagai perlengkapan guna upacara adat atau keagamaan di esok harinya, seperti membuat penjor dan memotong hewan yaitu babi. Penjor sendiri merupakan simbolik rasa syukur atas kemakmuran yang didapat manusia dalam bentuk batang bambu panjang layaknya janur, lalu dihiasi dengan hasil bumi atau pertanian. Penjor-penjor tersebut akan dipasang di sepanjang jalan, sehingga kesan meriah pun didapatkan dalam perayaan peringatan Galungan.
Sedangkan pada prosesi penyembelihan hewan babi bertujuan untuk simbolik pembunuhan nafsu negatif dalam diri manusia, dan juga dagingnya nanti akan dijadikan sebagai pelengkap upacara keagamaan. Persiapan semacam sajen pada setiap rumah pun diterapkan oleh sebagian masyarakatnya, karena adanya kepercayaan di mana terdapat leluhur yang akan turun ke dunia mengunjungi sanak saudaranya pada saat itu.
Hari Raya Galungan
Pada puncaknya yaitu Hari Raya Galungan, semua persiapan upacara siap dan jiwa raga, serta luar diri manusia juga sudah bersih/suci. Pagi harinya masyarakat akan berbondong-bondong melakukan ibadah atau sembahyangannya dimulai dari rumah masing-masing, lalu beranjak ke Pura terdekat di wilayahnya.
Di momen ini semua keluarga dan sanak saudara akan berkumpul. Perantau akan kembali, dan yang memiliki keluarga masih dalam kondisi dikubur (Mangkisan di Pertiwi) diwajibkan menghantar semacam sajen ke kuburannya atau Mamunjung ka Setra.
Setelah selesai semua rangkaian sebelum hingga menuju puncak hari Galungan, dilanjutkan dengan beberapa prosesi pengembalian. Sehari setelah puncak Galungan akan diadakan yang namanya Manis Galungan, di mana pada hari itu khusus untuk silahturahmi antar sanak saudara.
Dilanjut esoknya dengan Sabtu Hari Pemaridan Guru atau juga sebagai bentuk penyembahan dan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Minggunya dinamakan dengan Ulihan (pulang), yang berarti kembalinya pada dewa-dewi dan juga leluhur ke kahyangan. Rentang 5 hari ada yang namanya Hari Pemacekan Agung, serta Hari Raya Kuningan pada hari ke sepuluhnya. Hingga akhir dari segala rentetan kegiatan perayaan adalah dengan membakar pejor dan menguburkan abunya di pekarangan rumah masyarakat sebulan sesudah Hari Kuningan.
(Dewi Kurniasari)