Kehilangan ayah dan suami
Sendirian di kamar yang biasa ia tempati bersama suaminya, Marcia menjalani hari penuh tekanan menanti kabar orang-orang yang disayanginya.
Tanggal 2 April, ia kaget menerima pesan turut berduka cita di media sosial. “Saya melihat di TV, mereka memastikan seorang sersan yang meninggal di rumah sakit. Itu suami saya. Mereka terlebih dulu memberi tahu media,” katanya.
Selama di rumah sakit, Jose mengalami pendarahan, serangan jantung dan gagal organ. Ia menekan kemarahannya dan berdiam diri ketika tahu suaminya meninggal dunia. “Saya tak bisa menangis di depan ibu saya. Saya tak mau ia tahu,” katanya.
Marcia lalu ke kamar mandi dan menyalakan shower, lalu lama menangisi kematian suaminya di situ. “Saya menangis diam-diam. Sulit sekali menahan rasa sakit ini,” katanya.
Dua hari kemudian, satu kabar buruk datang lagi, ayahnya meninggal karena gagal jantung. Kali ini ia tak bisa menahan diri.
“Saya ke kamar mandi lagi dan menangis. Di titik itu, saya merasa giliran berikutnya adalah saya.”
Sekalipun Marcia merasa sakit, sesak napas dan demam, ia tak mau dirawat di rumah sakit. “Saya tak mau meninggalkan ibu saya sendirian.”
Jose dan Benedito dimakamkan beberapa hari sesudah meninggal dunia dengan pemakaman singkat dan protocol Covid-19.
Salah satu anak Marcia dari perkawinannya terdahulu, dan seorang anggota keluarga lain membantu mengurus pemakaman.
Sesudah 15 hari mengisolasi diri, Marcia dianggap sembuh. Ia keluar kamar tanggal 13 April, sesudah tak ada lagi gejala.
Saat pandemi berakhir, Marcia berencana membawa kembali ibunya ke Parana. "Sekarang ia tinggal di isolasi bersama saya," katanya.
Sesudah kehilangan ayah dan suaminya, Marcia meminta agar orang sadar akan pentingnya soal virus ini.
“Ini lebih serius daripada yang kita duga. Kita harus mencuci tangan dan memakai masker. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada tubuh kita ketika terinfeksi. Tidak hanya untuk diri kita, tapi juga orang yang kita cintai,” katanya.
(Martin Bagya Kertiyasa)