JAKARTA - Berkaca pada insiden rafting yang menewaskan empat orang pada Jumat, 28 Februari lalu, jenis wisata petualangan ini membutuhkan perhatian lebih besar bagi peminatnya. Rafting tetap aman jika pengelola wisatanya memperhatikan standard operating procedure (SOP), disesuaikan dengan kondisi sungai.
“Kalau kami, SOP-nya itu melihat debit air sebelum akhirnya turun untuk rafting. Kalau sekiranya tinggi, kami stop pengarungan guna keselamatan wisatawan,” kata Arry WS, Marketing Manager Caldera River Resort, pengelola Caldera Rafting di Sungai Citarik, Sukabumi, Jawa Barat, saat dihubungi Okezone, Kamis (6/3/2014).
Hal serupa juga dikatakan oleh Nindi, Marketing Komunikasi Arus Liar. Menurutnya, jika debit air di atas 120 cm, pihaknya akan membatalkan kegiatan pengarungan saat itu juga. “Kami akan batalkan karena kami tidak mau ambil risiko keselamatan nyawa pengunjung. Jika terlalu berbahaya, kami tidak berani,” tambahnya.
Namun, berbeda dengan yang dikatakan oleh Paryanta, Operational Manager Arus Progo. Menurutnya, debit air yang tinggi justru merupakan tantangan dari wisata ini. “Kalau di Arus Progo sendiri, debit air tinggi itu tidak terlalu bermasalah, karena ini olahraga ekstrem dan menantang, ketinggian debit air justru diperlukan,” tuturnya, dihubungi terpisah.
Paryanta menambahkan bahwa timnya di lapangan selalu memantau kondisi ketinggian air di hulu dan hilir. Hal itu dimaksudkan agar tim penyelamat dan pemandu dapat mengambil strategi dan kemungkinan yang terjadi selama pengarungan.
Karena, menurutnya, kecelakaan bukan hanya terjadi karena ketinggian debit air, melainkan dari hal sepele yang biasa dilakukan para tamu maupun operator tur rafting sendiri. “Kebanyakan kecelakaan itu terjadi karena jam yang harusnya sudah selesai, malah dipakai untuk main-main. Over attraction pun tidak baik,” tandasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa di Arus Progo, semua keputusan dikembalikan kepada wisatawan yang datang; mau mencoba di arus dengan debit tinggi atau mencoba di arus sungai yang lebih rendah. “Semua dikembalikan kepada wisatawannya, tetapi sejauh ini rafting yang kami kelola aman dan baik-baik saja,” ujarnya.
Sebelumnya, kecelakaan rafting terjadi pada 28 Februari, yang menewaskan 4 dari 18 orang wisatawan asal Jakarta di Batu, Malang. Mereka menggunakan jasa Batu Alam Rafting di Kota Batu pada Sabtu (28/2) lalu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba arus Sungai Brantas mendadak deras karena di hulu sedang hujan. Beberapa berhasil menepi dan selamat sedangkan satu perahu terbalik.
Tim SAR hari ini menghentikan pencarian karena empat korban sudah ditemukan semuanya. Rencananya, hari ini adalah pencarian terakhir korban, namun karena pagi tadi sudah berhasil ditemukan, tim SAR Mahameru yang mencari sejak sepekan lalu pun menghentikan pencarian.
(Fitri Yulianti)