Memasuki 2019, Zyta mulai memproduksi baju. Namun, stok melimpah akibat pandemi COVID-19 memaksanya berpikir kreatif. Ia memutuskan menjual stok jilbab reject untuk mendapatkan arus kas tanpa melakukan lay-off.
Langkah ini sukses, dan ia bahkan mengembangkan produk masker serta scarf antibakteri yang dijual satu paket dengan motif senada. Inovasi ini membuat penjualan 2021 menjadi yang terbaik sebelum pandemi.
Awalnya, produksi dilakukan di kamar tidur yang juga berfungsi sebagai ruang jahit, gudang, dan tempat packing. Seiring berkembangnya bisnis, Zyta meminta izin menggunakan ruang tamu orang tuanya. Hingga akhirnya, saat hamil anak pertama, ia membangun gedung kecil berukuran 3x3 meter untuk memisahkan area produksi.
Dukungan keluarga sangat besar. “Mama QC, Papa packing. Papa rapi banget administrasinya, semua dicatat,” ujar Zyta.
Bagi Zyta, kunci bertahan di industri fashion adalah adaptasi cepat dan terus memunculkan ide baru. “Kalau nggak beradaptasi, kita ketinggalan,” tegasnya.
Kisah Zyta membuktikan bahwa tekad, kreativitas, dan dukungan keluarga bisa mengubah modal nekat menjadi brand fashion yang disegani di Indonesia.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)