TAK sedikit ibu baru di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, mengalami kesulitan yang sama, yaitu ASI tidak langsung keluar setelah melahirkan. Fenomena ini ternyata bukan hanya persoalan biologis atau kurangnya nutrisi dari sang ibu, melainkan bisa berakar dari prosedur kelahiran yang selama ini dianggap “biasa”.
Tanpa disadari, sistem medis modern justru sering kali menjadi penyebab utama tertundanya produksi ASI. Salah satu praktik yang hingga kini masih banyak terjadi adalah pemisahan antara ibu dan bayi sesaat setelah lahiran.
Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar, S.Sos, MKM, IBCLC menerangkan bahwa seluruh mamalia termasuk manusia, pada dasarnya tidak perlu dipisahkan setelah proses kelahiran, asalkan kondisi keduanya sehat dan stabil.
“Bayi yang baru lahir kerap langsung dibawa ke ruang bayi untuk dibersihkan, ditimbang, atau diperiksa, sementara sang ibu dipindahkan ke ruang pemulihan. Seharusnya bayi dan ibu dibiarkan melakukan kontak kulit terlebih dahulu selama 90 menit,” tegas Nia dalam acara Morning Zone, Jumat (1/8/2025).
Dalam dunia medis, kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayi pertama usai persalinan dikenal sebagai golden hour. Ini adalah masa krusial yang dapat mendorong produksi hormon oksitosin dan prolaktin. WHO secara eksplisit menyatakan bahwa kontak kulit ke kulit segera setelah lahir (immediate skin-to-skin contact) merangsang produksi oksitosin, yang berperan dalam pengeluaran ASI (let-down reflex) dan memperkuat ikatan ibu-bayi (bonding).
Sayangnya, praktik memisahkan bayi dari ibu masih dianggap sebagai standar operasional di banyak fasilitas kesehatan, baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Begitu bayi lahir, ia kerap langsung dibawa ke ruang observasi untuk ditimbang, dibersihkan, dan diperiksa, sementara ibunya dibiarkan sendirian di ruang bersalin atau ruang pemulihan.
Dalam kondisi tersebut, momen paling sakral dan krusial dalam hubungan awal ibu dan anak justru terputus. Padahal, pelukan kecil sesaat setelah lahir bukan hanya sekadar bentuk kasih sayang, tetapi merupakan proses biologis alami yang dirancang tubuh manusia untuk memulai kehidupan dengan penuh kehangatan.
Nia juga menegaskan bahwa kunci keberhasilan menyusui justru terletak pada hari pertama kelahiran. Menurutnya, masa-masa awal pascamelahirkan adalah momen paling krusial yang akan menentukan lancar atau tidaknya proses menyusui ke depannya. Salah satu kesalahan umum yang kerap terjadi adalah pemisahan antara ibu dan bayi sesaat setelah persalinan, padahal kontak awal yang erat antara keduanya sangat penting.
“Bayi yang baru lahir seharusnya langsung menyusu pada ibunya, bukan dijadwalkan. Ketika bayi menunjukkan tanda-tanda lapar, ia akan menyusu dan ibu harus siap menyusui kapan saja,” jelas Nia. Ia menekankan bahwa kebebasan bayi untuk menyusu tanpa batas waktu akan membantu tubuh ibu menyesuaikan produksi ASI secara alami, sesuai kebutuhan bayi.
Oleh karena itu, sejak awal kelahiran, penting bagi fasilitas kesehatan dan tenaga medis untuk tidak mengabaikan hak ibu dan bayi untuk bersama, karena keputusan ini berdampak jangka panjang terhadap keberhasilan ASI eksklusif.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)