“Saat ini, hanya sekitar 11% dari perkiraan total pasien hemofilia di Indonesia yang telah terdiagnosis, menunjukkan masih banyak kasus yang belum terdeteksi,” lanjutnya.
Salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi adalah terbentuknya inhibitor, yaitu antibodi yang menghambat efektivitas terapi faktor pembekuan darah.
Penelitian yang dilakukan oleh Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2022 menemukan bahwa prevalensi inhibitor faktor VIII pada anak-anak dengan hemofilia A di 12 kota besar di Indonesia mencapai 9,6%.
dr. Novie menambahkan, tantangan besar lainnya dalam manajemen hemofilia di Indonesia adalah terbatasnya akses terhadap pengobatan yang merata di seluruh wilayah.
Menurutnya, fasilitas diagnosis dan pengobatan umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara pasien di daerah terpencil masih harus menghadapi keterbatasan layanan medis, baik dari segi infrastruktur, ketersediaan obat faktor pembekuan, hingga tenaga medis yang paham tentang gangguan perdarahan.
“Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengadvokasikan hal ini demi meningkatkan diagnosis dan tatalaksana hemofilia, serta penyakit perdarahan lainnya di Indonesia,” tutupnya.
Head of Oncology & Rare Disease Business Unit PT Takeda Indonesia, Shinta Caroline, menyampaikan bahwa pihaknya memahami bahwa perjalanan para pasien dan keluarga penyandang hemofilia penuh tantangan.