Berkaca dari Kasus Anak David Bayu, Bagaimana Cara Mendampingi Anak dalam Masa Sulit?

Wiwie Heriyani, Jurnalis
Rabu 14 Agustus 2024 14:08 WIB
Berkaca dari Kasus Anak David Bayu, Bagaimana Cara Mendampingi Anak dalam Masa Sulit? (Foto: Freepik)
Share :

Musisi David Bayu baru-baru ini mendapat ujian berat. Pasalnya sang anak, Audrey Davis, mendadak tersandung kasus video syur mirip dirinya.

Sejauh ini, pihak kepolisian telah berhasil mengantongi identitas  pelaku penyebar video syur tersebut. Usut punya usut, pelakunya adalah mantan pacar Audrey, dan kini telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus tersebut.

Audrey sendiri telah melakukan pemeriksaan sebagai saksi yang digelar beberapa waktu lalu, di Polda Metro Jaya. Ia juga telah mengakui bahwa perempuan dalam video tersebut memang dirinya.

Dalam kesempatan tersebut, David Bayu tampak terus mendampingi sang putri menjalani pemeriksaan. Meski Audrey terlibat skandal, hal tersebut tak mengurangi kasih sayang David Bayu untuk menjadi 'support system' sang anak ketika tersandung masalah.

Bahkan di momen tersebut, mantan vokalis Naif tersebut sempat mengutarakan dukungannya terhadap sang anak di depan awak media.

Audrey Davis dan David Bayu (Foto: Ravie/MPI)

"Selalu support untuk anak," ujarnya.

Lantas, berkaca dari kasus video syur Audrey Davis, apakah langkah David Bayu sebagai seorang ayah sudah tepat? 

Dan apa saja sebenarnya yang harus dilakukan orang tua ketika anak mereka sedang menghadapi masalah seperti pada kasus Audrey? Berikut ulasannya, melansir dari berbagai sumber.

Apa yang dilakukan David Bayu merupakan salah satu langkah yang tepat dalam membantu anak ketika menghadapi suatu masalah. Pasalnya, keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang ditemui anak sejak mereka lahir ke dunia.

 

Lingkungan keluarga pertama adalah Ayah, Ibu dan individu itu sendiri. Hubungan antara anak dengan kedua orangtuanya merupakan hubungan timbal balik dimana terdapat interaksi di dalamnya.

Setiap orangtua tentunya ingin yang terbaik bagi anak-anak mereka. Keinginan ini kemudian akan membentuk pola asuh yang akan ditanamkan orangtua kepada anak-anak. 

Pola asuh menurut Diana Baumrind (1967), pada prinsipnya merupakan parental control yaitu bagaimana orangtua mengontrol, membimbing, dan mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya menuju pada proses pendewasaan. 

Namun, hal tersebut menjadi sebuah tantangan besar ketika anak sudah masuk ke masa remaja alias menuju dewasa.

Masa remaja sebenarnya menjadi masa yang indah untuk mengukir cerita penuh kenangan. Namun, bisa hilang dalam sekejap apabila remaja terjerumus ke dalam bahaya pergaulan bebas. 

Remaja memiliki risiko yang tinggi untuk terjerat pergaulan bebas. Hal ini karena remaja memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seksual. 

Selain itu, pencarian jati diri atau mungkin identity crisis juga berperan dalam mendorong perilaku seks pada remaja. Tanpa adanya edukasi yang cukup dari orang tua, rasa ingin tahu ini dapat membuat remaja mencoba untuk mencari tahu sendiri hal-hal tersebut.

Nah, ketika terjadi ‘kenakalan remaja’ pada anak, tentu hal ini juga menjadi bentuk peringatan alias ‘tamparan’ bagi orang tua.  Meski tetap harus memberikan pendampingan pada anak selama menghadapi masalahnya, ada beberapa hal lain yang harus dilakukan orang tua. Berikut di antaranya. 

1. Ajari anak belajar dari kesalahan

Tidak ada manusia yang sempurna. Terapkan hal tersebut ke dalam pikiran anak. Meski begitu, dalam hal ini orang tua juga perlu mengajarkan anak untuk terampil dalam hidup (life skill), bukan sedang menciptakan manusia super tanpa kesalahan. 

Jadi, beri kesempatan pada anak untuk melakukan kesalahan dan dorong untuk memecahkan masalahnya sendiri. Setelah anak mengutarakan solusi, terima dahulu pemikirannya, setelah itu bersama-sama dengan anak untuk mengatasinya.

 

2. Jadilah panutan yang positif 

Anak adalah peniru yang ulung. Anak-anak yang memiliki orangtua yang baik dan bermoral, akan mempelajari perilaku dan nilai-nilai kehidupan melalui pengamatan dan meniru orangtua mereka. 

Jadi, sebagai orangtua sebaiknya bisa memberikan contoh yang positif, karena Anda adalah role model utama bagi anak.

Sebagai contoh, cara terbaik bagi orangtua untuk mengajarkan anak tentang nilai kejujuran. Orangtua, baik ayah ataupun ibu tentunya juga harus bersikap jujur kepada anak. 

Ketika anak menanyakan alasan kenapa ia harus melakukan sesuatu, maka katakanlah alasan yang sebenarnya, tidak dengan berbohong dengan tujuan agar anak mau menurutinya. Jika ada hal yang belum layak untuk anak ketahui, maka orangtua boleh menunda untuk memberikan penjelasan kepada anak. 

3. Hindari sikap sinis dan menghakimi  

Beberapa orangtua secara keliru percaya bahwa hukuman verbal dan sikap sinis serta menghakimi tidak akan berdampak buruk pada anak-anak mereka. Padahal, ketika anak mengalami masalah, kekerasan fisik dan hukuman akan meninggalkan luka emosional yang membekas hingga ia dewasa. 

Sama seperti hukuman fisik yang merusak jiwa anak, sikap menghakimi yang kasar juga merusak harga diri anak. Sudut pandang permusuhan orangtua akan tertanam jauh di dalam jiwa anak dan membentuk dasar identitas negatif yang dibawa anak sepanjang hidup.

Selain tidak mendefinisikan anak dalam pengertian baik dan buruk, orangtua hendaknya menahan diri untuk tidak melabeli anak yang berkonotasi negatif. 

 

4. Terapkan aturan yang konsisten 

Tentu setiap orangtua beranggapan bahwa memarahi dilakukan untuk kepentingan anak sendiri. Salah satu cara terbaik untuk membantu anak-anak memperbaiki perilaku buruk yaitu dengan memberi mereka instruksi yang jelas tentang apa yang diharapkan dari mereka. 

Cara mengatasinya beri anak arahan yang jelas, sederhana dan realistis. Selain itu, penting juga untuk selalu konsisten. 

Hal ini berkaitan dengan tindakan anak, dan aturan dan standar yang telah ditetapkan dalam keluarga. 

Disiplin merupakan ekspresi kepedulian orang dewasa terhadap anak. Komponen penting dari kasih orangtua adalah menawarkan kendali dan arahan.

5. Hindari kata ‘jangan’ dan ‘tidak’ 

Mendengar kata-kata ‘jangan’ dan ‘tidak’ ternyata tidak menyenangkan bagi siapa pun, terutama anak-anak. Fokuslah pada apa yang menjadi kesalahan anak daripada menekankan apa yang harus dilakukan dengan mengucapkan hal-hal negatif dan aturan nada.

Lihat segala sesuatunya dari perspektif yang lebih positif dengan membicarakan apa yang bisa dilakukan dengan lebih baik. Jika anak Anda merengek atau membalas, tunjukkan beberapa contoh bagaimana berbicara dengan cara yang baik dan lebih ramah.

Jangan lupa, ekspresikan kemarahan yang tulus ketika mendisiplinkan seorang anak. Jangan bertindak secara emosional atau fisik terhadap anak tersebut.

(Kemas Irawan Nurrachman)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Women lainnya