Presiden Joko Widodo belum lama ini mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang kesehatan yang salah satunya mengatur tentang sistem reproduksi yang menimbulkan polemik. Pasalnya, isi dalam PP itu mengatur mengenai penyediaan alat kontrasepsi.
PP tersebut bernomor 28 tahun 2024 tentang peraturan pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 tentang kesehatan Pasal 103 ayat 4 berisi, pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling dan penyedian alat kontrasepsi.
Hal ini membuat sejumlah pihak angkat bicara. Pasal tersebut dianggap melegalkan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja.
Ketua Bidang Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU, Ulil Abshar Abdalla menegaskan, aturan itu jangan sampai disalahartikan untuk melakukan hubungan seksual yang tidak halal. Dalam kacamata agama, hubungan seksual yang tidak halal merupakan larangan.
Oleh karenanya, Ulil berharap aturan pemerintah tetap menekankan pendidikan seksual tanpa memberikan lampu hijau terhadap hubungan seksual di luar pernikahan.
Senada diungkapkan anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina. Dia meminta pemerintah meninjau ulang aturan tersebut karena dikhawatirkan akan memberi dampak kesehatan jangka panjang, sekaligus berpotensi membuat remaja masuk ke pergaulan bebas.
"Hati-hati, jika gagal pengawasan justru jadi racun perusak anak-anak! Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini diimbangi dengan pendidikan seksual yang holistik dan pendekatan yang sensitif terhadap nilai-nilai masyarakat karena bisa jadi boomerang bagi anak muda Indonesia," tuturnya.
Sementara itu, Kementrian Kesehatan melalui Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Mohammad Syahril Sp. P, MPH menegaskan, edukasi terkait kesehatan reproduksi termasuk juga penggunaan kontrasepsi.
“Penyediaan alat kontrasepsi tidak ditujukan untuk semua remaja, melainkan hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap karena masalah ekonomi atau kesehatan. Jadi, penyediaan alat kontrasepsi itu hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah untuk dapat menunda kehamilan hingga umur yang aman untuk hamil,” kata dr. Syahril sebagaimana dirangkum dari siaran pers di laman resmi Kemenkes.
Pernikahan Dini di Indonesia
United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) mencatat tren perkawinan anak perempuan di Indonesia, baik yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun maupun 15 tahun, menunjukkan penurunan pada periode tahun 2008 sampai 2018. Sayangnya, penurunan tersebut dinilai masih dikategorikan lambat.
Pada tahun 2008, prevalensi perkawinan anak adalah sebesar 14,67 persen, namun pada satu dekade kemudian (tahun 2018) hanya menurun sebesar 3,5 poin persen menjadi 11,21 persen. Masih sekira 1 dari 9 perempuan berusia 20 – 24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun.
Dengan perician perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan pertamanya terjadi pada usia kurang dari 18 tahun (1,2 juta jiwa). Sedangkan perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum berusia 15 tahun tercatat sebanyak 61,3 ribu perempuan12.
Di sisi lain, prevalensi perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 15 tahun mengalami penurunan sekitar satu poin persen selama periode 2008 – 2018. Pada tahun 2008, sebanyak 1,60 persen perempuan usia 20 – 24 melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 15 tahun. Prevalensi ini menurun lebih dari setengahnya pada tahun 2018 menjadi sebesar 0,56 persen.
Sementara itu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dokter Hasto Wardoyo, menyebut terdapat pasangan usia subur 14-16 tahun yang sudah menikah dan memiliki anak.
"Data BPS terakhir, setiap 1.000 perempuan ternyata yang sudah hamil dan melahirkan di usia 15-19 tahun jumlahnya 19 terendah dan 26 tertinggi. Setiap 1.000 loh," kata Hasto di Jakarta.
Usia tersebut, lanjut Hasto, merupakan usia anak sekolah hingga remaja sehingga penting sekali mengcover hal tersebut. "Jika tidak diatur, bisa memicu sejumlah risiko seperti kelahiran prematur, barat badan bayi lahir rendah, pendarahan persalinan, hingga kematian ibu dan bayi," tuturnya.
Dampak pernikahan dini
Muhammad Adwin Luthfian Noor, S.Tr.Sos, dokter RS Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, seperti dinukil dari Situs Kementrian Kesehatan mengatakan, persepsi masyarakat mengenai menikah di usia muda sangat beragam. Dia nataranya ada anggapan hidup berumah tangga lebih nikmat, serta khawatir anaknya menjadi ‘perawan tua’ atau ‘bujang tak laku’. Padahal pernikahan dini dapat menyebabkan berbagai dampak seperti:
1. Dampak terhadap perkembangan anak
Emosi yang tidak stabil akan berpengaruh pada pola asuh orang tua pada anaknya. Untuk mendapatkan perkembangan anak maksimal membutuhkan lingkungan keluarga yang tenang, penuh harmonis, serta stabil sehingga anak merasa aman dan berkembang secara optimal.
2. Dampak terhadap kesehatan jasmani
Kondisi rahim wanita yang masih terlalu dini dapat menyebabkan kandungan lemah dan sel telur masih belum sempurna,
3. Dampak terhadap sikap masyarakat
Perubahan dari segi sosial akibat adanya hak dan kewajiban sebagai istri atau suami dan ibu atau ayah. Ini memiliki beban dan tanggung jawab yang tidak ringan dalam masyarakat.
4. Dampak terhadap psikologis
Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai adanya gejolak emosi yang tidak stabil dan juga dikenal sebagai masa pencairan identitas diri. Kondisi jiwa yang tidak stabil akan berpengaruh pada hubungan suami istri.
Oleh karena itu, aturan PP yang sudah diteken Presiden Joko Widodo tidak hanya sekadar kertas semata. Diperlukan pengawasan yang ketat kepada Kementrian terkait hingga stake holder, karena terdapat kewajiban serta kebijakan moral yang melekat atas terbitnya aturan tersebut.
Selain itu, edukasi yang nantinya diajar kepada remaja, bukan hanya sekadar praktik penggunaan alat kontrasepsi melainkan titik tekannya adalah ada beban sosial, agama, serta lingkungan yang melekat sebelum menggunakannya. Kebijakan dan keterbukaan orangtua juga diperlukan di era derasnya informasi sehingga sang anak tidak tersesat dalam pergaulan bebas.
(Kemas Irawan Nurrachman)