PERUBAHAN sikap dan perilaku masyarakat Negeri Masihulan yang hidup di antara rimbunnya hutan Pulau Seram, Maluku, dari memburu kakatua seram yang merupakan salah satu burung paruh bengkok endemik pulau tersebut menjadi melindunginya melalui proses panjang dan tidak sederhana.
Penting untuk melihat bagaimana masyarakat lokal yang awalnya konsumtif dari berburu kemudian dapat berubah menjadi pelaku-pelaku yang peduli terhadap konservasi alamnya sendiri. Transformasi pola hidup itu juga tidak lepas dari aturan-aturan adat yang ada dan mengatur tatanan hidup masyarakat lokal itu sendiri, baik aturan dan norma adat yang mengatur masyarakatnya maupun aturan adat tentang pengelolaan hutan dan alamnya.
Ada satu rangkaian panjang, di mana bukan hanya para pemburu burung paruh bengkoknya saja yang perlu dilihat, tetapi ada pula beberapa instrumen yang juga turut andil di dalamnya. Para pemburu, hanya berburu burung, tetapi perbelakan disediakan oleh saudara atau tetangga kampungnya.
Baca juga: Kisah Pelindung Kakatua Seram di Negeri Masihulan (1)
Seperti ketika satu kelompok pemburu kakatua seram akan pergi untuk menangkap burung di minggu berikutnya, maka pemimpin kelompok akan memerintahkan salah satu anggotanya untuk pergi ke Sungai Salawai untuk "pukul sagu" atau menebang dan mengolah pohon sagu.
Hasil sagu yang telah dipukul itu kemudian disiapkan dalam tumang sagu, dibagi lagi sebagian untuk perbekalan saat masuk hutan dan lainnya untuk kebutuhan makan di rumah.
Hutan di Desa Masihulan, Seram Utara, Maluku Tengah (Antara)
Sagu mentah untuk perbekalan yang telah dibuat dalam tumang sagu kemudian di bawah ke desa tetangga, yakni Desa Sawai untuk dibakar. Lalu, sagu mentah dibakar dan hasil sagu yang telah dibakar dapat menjadi bekal makanan saat masuk hutan.
Adapun yang menarik adalah untuk membayar sagu yang telah dibakar tersebut, harus menunggu para pemburu kembali dari hutan, menjual hasil buruan burung paruh bengkok baru bisa membayar mama-mama di Desa Sawai yang membakar sagu tersebut.
Menurut penuturan mantan pemburu kakatua seram atau Cacatua moluccencis yang kini menjadi pelaku ekowisata di Desa Masihulan Sony Sapulette, mama di Desa Sawai sangat membantu mereka dalam mengurus perbekalan khususnya sagu.
Sesudah itu, hal menarik lainnya adalah kios tempat kelompok pemburu burung paruh bengkok membeli perbekalan untuk berburu juga bersedia memberikan hutangan pada mereka. Semua perbekalan baru akan dibayar kemudian saat burung hasil tangkapan sudah terjual.
Begitu kompleks rangkaian perikehidupan yang mereka ciptakan dalam bingkai besar perburuan ilegal burung endemik paruh bengkok di sana. Kemudian, semua itu berganti perlahan saat mereka bersentuhan dengan konsep konservasi dan memulai membuka celah ekonomi baru dari ekowisata yang menawarkan sesi pengamatan burung (birdwatching) pada plafon menjulang di ketinggian 40 hingga 50 meter dan kegiatan kamp di hutan mereka.
Ekowisata juga memiliki peranan penting dalam perubahan pola hidup sosial-budaya masyarakat Masihulan, di mana kegiatan ekonomi yang lebih berkelanjutan itu dapat menjadi alternatif tambahan ekonomi bagi mereka. Alam terjadi, satwa lestari dan adanya kemandirian ekonomi dalam masyarakat.
Baca juga: Asyiknya Berwisata di PPS Tasikoki, Bisa Mengenal Aneka Satwa Liar
Apa yang mereka kerjakan saat ini sama halnya menjaga hutan dan kekayaan hayatinya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Hutan Konservasi sebagai alat perlawanan terhadap pihak-pihak yang ingn mengeksploitasi hutan penyangga Taman Nasional Manusela di Pulau Seram.
Konservasi dan ekowisata
Saat pertama kali Sony menjadi porter untuk membawa barang wisatawan, dirinya mendapatkan sekitar Rp7.500 sehari. Tetapi sekarang tarif seorang porter yang membawa barang masuk hutan di Masihulan mencapai Rp250.000 per hari.
Memang baru di 2018 ia mulai mendirikan sendiri lembaga untuk menjalankan usaha ekowisata dengan membuat paket-paket khusus yang langsung bersentuhan dengan alam. Namun itu pun setelah dirinya dan rekan-rekan yang sebelumnya berprofesi sebagai pemburu burung paruh bengkok di sana dikenalkan soal konservasi oleh Yayasan Wallacea dan peneliti Amerika Serikat bernama Stewart A Metz, yang pada 2003 juga membangun Pusat Rehabilitasi Satwa (PRS) bersama masyarakat setempat.