India mulai melakukan uji klinis pertama terapi plasma untuk pasien COVID-19. Terapi ini dianggap berhasil menurunkan angka kematian di beberapa negara, sebut saja Iran, Perancis, pun Amerika Serikat.
Uji klinis ini dilakukan secara acak pada 500 orang di dua rumah sakit pemerintah. Rencananya mulai dilakukan pada minggu ini. Pengobatan dengan terapi plasma akan diberikan kepada pasien yang sakit sedang dan kritis.
Menurut laporan South China Morning Post, pendonor yang berhak mendonorkan darahnya adalah pasien sembuh COVID-19 yang selama 28 hari dinyatakan bebas dari gejala apapun dan telah diuji negatif dua kali. Persyaratan ketat ini untuk menjamin keselamatan pasien COVID-19 lainnya.
N.K. Singh, wakil sekretaris Palang Merah india mengatakan, pihaknya akan membantu rumah sakit mengumpulkan darah. Ia juga akan memberikan konseling sebelum calon pendonor memberikan darahnya.
"Pada banyak kasus, calon pendonor biasanya akan menyembunyikan identitasnya karena merasa takut akan stigma sosial," terangnya.
Di sisi lain, Rumah Sakit Max di Saket sudah melakukan terapi plasma ini kepada pasien COVID-19 berusia 49 tahun. Pasien ini mendapatkan terapi tersebut sesuai permintaan keluarganya, karena kondisi pasien tak kunjung membaik meski sudah mendapat perawatan dengan ventilator.
"Dalam kasus yang mengancam nyawa, keluarga pasien berhak meminta atau mengajukan perawatan apa yang harus diberikan pada pasien. Terapi plasma memang belum disetujui di india, tetapi beberapa negara memperlihatkan keberhasilan perawatan yang satu ini," ungkap Dr Sandeep Budhiraja, direktur klinis untuk Max Healtcare.
Plasma merupakan komponen darah yang mengandung antibodi penangkal virus. Dalam terapi plasma, plasma dari pasien sembuh COVID-19 yang dalam dunia medis disebut 'liquid gold' digunakan untuk mengobati mereka yang sakit parah.
Harapannya, antibodi yang terkandung di dalam plasma tersebut mampu memperkuat sistem kekebalan tubuh pasien COVID-19 dan bisa melawan virus SARS-CoV-2 yang ada di tubuh pasien secara efektif.
Nah, karena uji klinis secara resmi baru akan dilakukan, keluarga pasien ternyata mencari donor plasma sendiri. Keluarga ini menemukan wanita yang sembuh dari COVID-19 sudah tiga minggu yang lalu, tak ada kondisi lain yang memperburuk tubuhnya, dan dia bersedia menyumbangkan darahnya.
"Perlu dicatat, terapi plasma bukan senjata utama melawan COVID-19. Pasien tetap harus mengonsumsi obat-obatan standar lainnya. Namun, kami bisa katakan bahwa terapi plasma bisa berfungsi sebagai katalis dalam mempercepat penyembuhan pasien," terang Budhiraja.
(Helmi Ade Saputra)