Dea tidak memungkiri, ia sempat kebingungan ketika Tumi meminta pekerjaan kepada dirinya, mengingat selama ini ia hanya mempekerjakan karyawan-karyawan normal atau tidak memiliki kebutuhan khusus.
Namun setelah saling bertukar pandangan, Dea akhirnya yakin bahwa kaum difabel seperti Tumi ini sebetulnya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang-orang pada umumnya.
“Awalnya saya bingung, ini kali pertama saya mempekerjakan kaum difabel. Mereka itu bisa dibilang invinsible atau jarang menampakkan diri karena minder. Waktu itu saya tanya kepada Tumi, ‘kamu makan gimana nulis gimana’. Dan dia berhasil membuktikan kalau dia bisa melakukan apapun,” tutur Dea.
“Dari situ saya menyadari, orang-orang kayak mba Tumi ini pasti banyak dan wajib mendapatkan kesempatan seperti orang-orang normal. Aku sampai merasa sudah ditakdirkan bikin baju untuk ketemu mereka,“ timpalnya.
Dea percaya semua orang memiliki sifat dan keunikan masing-masing. Contoh kecilnya, tidak semua orang normal itu bisa dilatih dan langsung paham dengan materi yang diberikan.