Bisa dianggap sebagai sebuah perilaku berbohong, sambung Psikolog Mei, apabila tindakannya dilakukan secara diniatkan. Contoh mudahnya seperti ini, "kalau seorang anak berusaha membuat suatu cerita yang 'dibuat-buat' dalam rangka mendapat pujian dan diterima oleh kelompoknya, biasnya anak akan berbohong terutama saadia sedang mengalami suatu masalah dan ingin keluar dari masalahnya atau saat sedang menginginkan suatu hal," ungkap Mei.
Jika tidak diberikan edukasi atas perilakunya ini, maka perilaku ini akan berkembang dan akhirnya menetap menjadi bagian dari karakter si anak di masa dewasa dan dapat berkembang menjadi gangguan perilaku mal-adaptif yang lebih berat (gangguan klinis).
Psikolog Mei melanjutkan, seseorang berbohong bisa dengan berbagai alasan. Jika mengacu pada teori Vrij (2001), ada 5 alasan mendasar kenapa seseorang bisa berbohong.
Pertama, berbohong dalam rangka membuat kesan positif terhadap orang lain atau untuk melindungi dirinya dari rasa malu atau penolakan dari individu lain. Kedua, individu berbohong dalam rangka mendapatkan keuntungan.
Ketiga, berbohong dilakukan untuk menghindari hukuman. (Ketiga jenis bohong ini dapat dikategorikan sebagai self-oriented yakni bertujuan agar pelakunya tampak tampil lebih baik di hadapan orang lain dan untuk memperoleh keuntungan pribadi).
Keempat, ada jenis lain di mana orang berbohong untuk keuntungan orang lain. Jadi, dia berbohong untuk membuat orang lain jadi tampak lebih baik atau melindungi orang lain. Hal ini juga biasa disebut sebagai other-oriented lie.
Individu yang melakukan tipe bohong seperti ini biasanya adalah individu yang sudah merasa dekat dan memiliki keterlibatan emosional dengan orang yang dilindunginya tersebut.