Untuk terjadinya perubahan sel-sel serviks normal menjadi kanker, butuh waktu paling cepat enam bulan hingga dua tahun. Bahkan bisa sampai 15-20 tahun. “Karena itu, jangan heran bila perempuan yang sudah menjanda 10 tahun bisa kena,” ujarnya. Ia menyayangkan, kadang dokter ‘kecolongan’ bila kanker serviks muncul di usia menopause. “Kadang dianggap bahwa itu penghabisan haid. Namun sampai dua tahun terus berlanjut. Ternyata begitu ditemukan, kanker sudah stadium lanjut,” imbuhnya.
Di sisi lain, ada kesempatan selama 15-20 tahun untuk melakukan skrining atau deteksi dini. Berdasarkan literatur, skrining perlu dilakukan 3-5 tahun. “Namun di Indonesia kita sarankan setahun sekali,” terang dr. Andi.
Peranan vaksinasi
Kenneth alexander, MD, Ph.D. dari Nemours Children’s Hospital, Florida, Amerika Serikat (AS) menyoroti besarnya peran vaksinasi dalam mencegah berbagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi HPV. Ia mengapresiasi program vaksinasi HPV di sekolah yang sudah mulai dijalankan di Indonesia, yang dimulai dengan proyek percontohan di Jakarta tahun lalu. Menurutnya, AS kurang bekerja dengan baik terkait vaksinasi HPV. Di sana, vaksinasi HPV dilakukan di klinik, sedangkan tidak semua orangtua sadar untuk membawa anaknya ke klinik untuk mendapat vaksinasi. “Sedangkan di sekolah, kita bisa menjangkau semua anak, dari berbagai latar belakang. Cakupan vaksinasi di sekolah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan vaksinasi berbasis klinik,” tuturnya.
Salah satu tantangan dalam vaksinasi HPV yakni, dampaknya baru terasa sekitar 20 tahun kemudian, mengingat perjalan penyakit kanker serviks membutuhkan waktu yang lama. “Ini adalah sukses jangka panjang,” tegasnya. Namun, keberhasilan dalam jangka pendek bisa terlihat dari vaksin HPV kuadrivalen dalam mencegah kulit kelamin. Vaksin kuadrivalen memberi perlindungan terhadap empat tipe HPV; tidak hanya tipe onkogenik (16, 18) tapi juga tipe non onkogenik yang paling sering menyebabkan kutil kelamin (6, 11).
Ini terlihat jelas pada Australia, yang memulai program vaksinasi HPV nasional dengan vaksin kuadrivalen pada 2007. “Setelah lima tahun, prevalensi kutil kelamin turun 80%,” ucap Prof. Kenneth. Pada 2007, persentasenya pada perempuan usia <21 tahun hampir 12%, dan turun hingga <2% pada 2011. Demikian pula pada kelompok usia 21-30%; dari sekitar 12% pada 2007 menjadi <4% pada 2011. Pada perempuan yang tidak divaksin, tidak ada penurunan.
Yang menarik, prevalensi kutil kelamin pada laki-laki juga ikut turun, padahal laki-laki tidak divaksin. “Jadi kita melindungi anak perempuan, tapi anak laki-laki pun ikut terlindungi. Tercipta herd immunity. Bisa kita simpulkan efikasi vaksin sangat tinggi,” tegasnya.