KEKERASAN seksual yang dialami Lady Gaga pada usia 19 tahun sangat mengganggu kondisi mentalnya hingga sekarang. Dia mengaku, gangguan mental yang dialaminya itu tergolong Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Lantas apa itu PTSD?
"Ini adalah masalah kesehatan mental yang dialami seseorang. Beberapa kasus PTSD disebabkan oleh trauma akibat banyak hal. Seperti peristiwa yang mengancam jiwa, peperangan, bencana alam, kecelakaan, sampai kekerasan seksual," seperti tertulis dalam keterangan National Center for PTSD.
Beberapa kasus penderita PTSD punya gejala berbeda menghadapi stres yang dialami. Bisa jadi rekaman peristiwa pilu itu terngiang di memori hingga mengganggu aktivitasnya (seperti yang dialami Lady Gaga), mimpi buruk tiada henti, hingga menghindari situasi yang membuatnya trauma. (Baca: Lady Gaga Alami Gangguan PTSD Akibat Kekerasan Seksual)
PTSD tentu berdampak buruk bagi kesehatan mental jika tidak segera diatasi. Hal tersebut diungkap Simon Rego, PsyD., Direktur pelatihan psikologi dan terapi perilaku kognitif di New York Montefiore Medical Center / Albert Einstein College of Medicine.
"Gangguan PTSD intinya menghidupkan kembali peristiwa buruk. Kenangan ini terus datang dan sangat menyedihkan," katanya yang dikutip Yahoo, Rabu (7/12/2016).
Hidup dengan PTSD ternyata tak menyiksa penderitanya. Hal tersebut juga berdampak bagi orang-orang di sekitar mereka. Pasalnya setiap aspek kehidupan yang dilihat bebarengan dengan bayang-bayang trauma, maka dapat menyulitkan penderitanya memandang kehidupan orang lain.
"Hal ini bisa sewaktu-waktu membuat penderita PTSD bisa sangat emosional dan marah," kata Rego. (Baca: Lady Gaga Alami Gangguan PTSD Akibat Kekerasan Seksual)
Kemudian pengidap PTSD juga membentuk kehidupan dengan caranya sendiri dengan menghindari hal-hal yang membuatnya trauma. Hal tersebut dapat mengganggu cara pandang dan kehidupan sosialnya kelak.
Untungnya, beberapa perawatan bagi penderita PTSD cukup mudah dan banyak pilihan. Bisa dengan terapi kontak (pasien PTSD belajar secara bertahap mendekati kenangan buruk, lalu dikenalkan sisi positif hingga berani menghadapi situasi yang membuatnya trauma itu).
Kemudian terapi pengobatan kognitif, yang beruba terapi komunikasi, agar penderita PTSD berani mengevaluasi dan mengubah cara pandangnya terkait hal-hal yang membuatnya trauma.
"Keduanya memiliki bukti kuat untuk menunjukkan bahwa mereka dapat melewati kondisi trauma dalam waktu yang relatif singkat," kata Rego.
Dengan begitu, pasien PTSD dapat memiliki kehidupan yang lebih baik untuk mengontrol trauma yang dialami.
"Terkadang dalam terapi satu pekan dua kali selama lima pekan. Penderita PTSD sudah bisa hidup normal," pungkasnya.
(Helmi Ade Saputra)