JAKARTA – Istilah lavender marriage belakangan semakin banyak dibicarakan di media sosial. Fenomena ini menggambarkan pernikahan yang dilakukan bukan karena cinta, melainkan sebagai bentuk “kamuflase” untuk menutupi identitas seksual pasangan, terutama di tengah tekanan sosial dan budaya.
Lavender marriage merujuk pada pernikahan antara dua orang yang salah satunya atau keduanya memiliki orientasi seksual berbeda dari pasangan heteroseksual. Istilah ini pertama kali populer di Hollywood era 1920-an, ketika banyak artis menikah demi menjaga citra publik di tengah norma sosial yang ketat.
Singkatnya, lavender marriage bukanlah pernikahan atas dasar cinta atau hubungan emosional mendalam, melainkan strategi untuk memenuhi ekspektasi sosial atau melindungi privasi diri.
Meski secara sosial dapat memberikan “perlindungan” dari stigma, lavender marriage sering menimbulkan tekanan batin bagi pihak yang terlibat. Berikut beberapa dampak psikologis yang umum terjadi:
- Tekanan Emosional
Menjalani kehidupan rumah tangga tanpa fondasi cinta dapat menimbulkan rasa hampa dan keterasingan dalam diri.
- Stres dan Kecemasan
Menjaga rahasia identitas seksual sering membuat individu hidup dalam ketakutan, cemas jika “kedok” terbongkar.
- Kehilangan Identitas Diri
Tidak bisa menjadi diri sendiri dalam pernikahan membuat sebagian orang merasa kehilangan jati diri dan tujuan hidup.
- Konflik dalam Rumah Tangga
Ketidakselarasan emosional kerap memicu pertengkaran, jarak emosional, bahkan perasaan tidak dihargai.
- Risiko Depresi
Dalam jangka panjang, tekanan psikologis dapat berkembang menjadi depresi jika tidak mendapatkan dukungan atau ruang aman untuk mengekspresikan diri.
- Perlu Dukungan Sosial
Psikolog menekankan bahwa kondisi seperti lavender marriage terjadi karena tekanan sosial, norma budaya, dan kurangnya penerimaan terhadap keberagaman orientasi seksual. Dukungan keluarga, lingkungan, serta konseling psikologis sangat penting agar individu tidak terus terjebak dalam tekanan batin.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)