JAKARTA - Terdapat luka tak kasat mata yang sering kali luput dari perhatian, yakni trauma psikologis yang dialami para perempuan penyintas kekerasan. Salah satu bentuk kekerasan yang kini mulai banyak dibicarakan adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu dengan Narcissistic Personality Disorder (NPD).
Komnas Perempuan mencatat, sepanjang 2024 terjadi 330.097 kasus kekerasan berbasis gender (KBG), naik 14,17% dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus kekerasan terhadap perempuan tak hanya dalam ranah domestik, tetapi juga di ruang publik.
Psikolog Klinis sekaligus Mentor Probono di Komunitas Broken but Unbroken, Maria M. T. Fernandez, menuturkan bahwa dampak kekerasan psikis dan relasional yang dilakukan oleh individu dengan NPD bisa sangat merusak kesehatan mental korban. Selain itu, korban kerap mengalami gangguan relasi yang serius.
“Gejala awal biasanya muncul dari dominasi emosi negatif yang terus-menerus membebani pikiran dan perasaan korban. Mereka menjadi sulit berkonsentrasi, menarik diri dari lingkungan sosial, dan mengalami penurunan performa dalam aktivitas akademik maupun pekerjaan,” ujar Maria, dikutip Kamis (29/5/2025).
“Banyak penyintas yang mengaku terus dihantui pikiran dan perasaan yang tidak nyaman, sehingga tak mampu fokus dalam menyelesaikan masalah sehari-hari, baik di rumah maupun dalam kehidupan sosialnya,” tambahnya.
Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap jenis-jenis kekerasan dan dampak psikis yang ditimbulkannya menjadi tujuan utama Jakarta Anti-Violence Forum 2025 yang digagas Komunitas Broken but Unbroken.
Forum ini merupakan inisiatif Kartika Soeminar seorang edukator publik mengenai NPD. “Forum ini dirancang sebagai ruang aman yang intimate untuk saling bertukar cerita dan saling menguatkan tanpa takut dihakimi,” ujar Kartika.
Salah satu program utama komunitas ini adalah Ruang Aman Bercerita, forum obrolan virtual yang digelar setiap malam pukul 19.00–21.00 WIB. Di ruang ini, para korban kekerasan bisa berbagi cerita tanpa tekanan atau kewajiban, dan yang terpenting, tanpa pengambilan data pribadi.
“Gabung dulu aja, nggak harus langsung cerita. Lihat dan dengar dulu. Kalau sudah merasa cukup nyaman, baru pelan-pelan mulai berbagi,” ungkap Kartika.
Maria juga menekankan pentingnya terapi dalam proses pemulihan trauma, salah satunya melalui Dialectical Behavioral Therapy (DBT), yakni terapi yang berfokus pada regulasi emosi.
“Dengan terapi DBT, korban diajak untuk mengenali dan memahami perasaan-perasaan tidak nyaman dalam dirinya, agar bisa mengelola reaksi dan perlahan-lahan memulihkan diri,” jelasnya.
Sementara itu, Said Niam, S.H. dari LBH APIK Jakarta, mengimbau korban kekerasan untuk berani melapor kepada aparat penegak hukum. Ia menekankan pentingnya mengumpulkan bukti, baik hasil visum rumah sakit untuk kekerasan fisik, maupun rekam medis psikis dari lembaga psikologi untuk kekerasan emosional.
“Penting juga bagi korban untuk berkonsultasi dengan ahli yang memiliki perspektif keberpihakan kepada korban, agar proses hukum berjalan dengan lebih empatik dan adil,” jelas Said.
(Qur'anul Hidayat)