Di sisi lain, Analis Hukum Muda DJKI, Rikson Sitorus mengungkapkan bahwa pembajakan buku masih menjadi tantangan besar bagi ekosistem literasi di Indonesia. Berdasarkan survei Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada 2021, sekitar 75 persen penerbit menemukan buku mereka dibajak dan dijual di lokapasar, dengan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah.
“Pembajakan tidak hanya terjadi di ranah digital, tetapi juga melalui penggandaan isi buku di tempat fotokopi. Ini merugikan penulis dan penerbit, serta mengancam keberlanjutan literasi,” kata Rikson.
Dia menekankan pentingnya pencatatan hak cipta di DJKI dan pemanfaatan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk mengelola royalti. Kementerian Hukum dan HAM sendiri telah mengesahkan Pengelolaan Royalti Atas Lisensi Penggunaan Sekunder Untuk Hak Cipta Buku dan atau Karya Tulis Lainnya. Regulasi ini mengatur siapa saja pihak yang wajib membayar royalti atas penggandaan buku.
“Dengan pencatatan hak cipta, penulis bisa memanfaatkan hak-hak ekonomi dari karya mereka. LMK dapat membantu mengumpulkan royalti berdasarkan lisensi penggunaan sekunder, yang sangat penting untuk mendukung kesejahteraan penulis,” katanya.
Kesimpulannya, para narasumber sepakat bahwa membangun ekosistem literasi berkelanjutan di Indonesia memerlukan sinergi dan komitmen dari berbagai pihak. Tantangan era digital, seperti pembajakan, harus dihadapi dengan strategi yang komprehensif dan kolaboratif, demi masa depan literasi yang lebih baik.
(Leonardus Selwyn)