UNDANG-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2024 yang mengatur tentang cuti melahirkan hingga maksimal enam bulan baru-baru ini resmi disahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dijelaskan dalam Pasal 4 Ayat (3) huruf a, ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti paling singkat adalah 3 bulan bila mengandung dan melahirkan anak.
Kemudian paling lama mendapat tiga bulan tambahan apabila terdapat kondisi khusus yang terjadi pada ibu atau anak yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Pengesahan UU ini mendapat dukungan dari berbagai pihak. Namun, sayangnya, UU terkait penambahan cuti hamil menjadi enam bulan ini masih banyak menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat.
Ketua DPP Bidang Sosial dan Kebencanaan Partai Perindo, Sri Gusni Febriasari mengatakan, UU tersebut merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk bisa mengakomodir terpenuhinya hak-hak ibu dan anak.
Namun, dia menilai, UU ini terkesan masih setengah-tengah keberpihakannya terhadap hak perempuan. Pasalnya, jika menilik lebih jauh, UU tersebut terkesan jadi membebankan pengasuhan anak yang baru lahir ke ibunya saja.
“Yang jelas kita tetap mendukung, ini mungkin jadi salah satu komitmen pemerintah untuk benar-benar bisa mengakomodir atau bisa mengakomodasi terpenuhinya hak-hak ibu dan anak,” ujar Sri, saat dihubungi MNC Portal, Kamis malam, (4/7/2024).
“Tapi yang jadi pertanyaan kita, ini undang-undangnya benar-benar mau melindungi apa cuma kaya oh yaudah setengah-setengah aja, jangan sampai undang-undang ini jadi seolah-olah pengasuhan itu tuh jadi bebannya hanya seorang perempuan aja,” tuturnya.
Pasalnya, Sri mengatakan, UU tersebut masih terlalu fokus terhadap pemberian cuti melahirkan kepada perempuan. Padahal, di masa-masa kehamilan hingga melahirkan, perempuan juga butuh figur seorang suami untuk membantunya mengasuh sang anak.
Meski dalam UU disebutkan bahwa suami akan mendapatkan waktu yang cukup untuk mendampingi sang istri, namun di sana tidak disebutkan secara spesifik berapa lama waktu yang dimaksud.