INDONESIA akan memasuki tahun politik pada 2024. Direncanakan pada 14 Februari 2024, masyarakat dari usia 17-55 tahun akan menggunakan hak suaranya untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif.
Dalam pemilu kali ini, anak muda memegang peran penting. Sehingga tidak boleh sembarangan dalam memilih. Mengingat, seperti dari data KPU, ada 52 persen pemilih muda.
Namun, diungkap Lutfi Nugroho, Public Affairs Lead, Think Policy menjelaskan, saat ini anak-anak muda Indonesia apatis terhadap politik di Indonesia ini. Hal ini merupakan salah satu bentuk ketidaksukaan dan kekecewaan generasi muda terhadap politik di Indonesia.
Hal tersebut tentu tidak boleh dibiarkan, karena satu suara sangat berharga dalam pemilu kali ini. Seluruh masyarakat Indonesia harus berbondong-bondong memilih pemimpin negara, yang memiliki kebijakan untuk memajukan Indonesia.
Jika masyarakat tidak menggunakan hak suaranya dengan bijak, maka bisa jadi kepemimpinan Indonesia jatuh di tangan orang yang salah dan membuat negara ini tidak akan maju.
“Pemilu kali ini sangat penting buat Indonesia karena lompatannya sampai 2030. Di mana tahun itu menjadi puncak dari tahun demografi,” ujar Wildanshah, Koordinator Tim Strategi dan Komunikasi Kebijakan Menteri Pemuda dan Olahraga RI di Media Center Kemenpora, Rabu (22/11/2023)
“Kalau sampai kita meleset, Indonesia akan terjebak menjadi negara middle income forever,” imbuhnya.
Ada dua kesalahan yang harus dihindari oleh pemilih muda saat pemilu 2024 mendatang. Pertama, golongan putih atau golput, yakni ketika seseorang tidak memilih atau memberikan hak suara untuk siapa pun yang dicalonkan sebagai pemimpin.
Sementara kelompok kedua yakni pemilih muda yang memilih presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif tanpa mengenal mereka dengan benar. Baik itu dalam rekam jejaknya selama di dunia politik, maupun kebijakan-kebijakan yang mereka rencanakan untuk direalisasikan pada masa kepemimpinannya kelak.
“Jangan sampai anak muda melihat casingnya. Jangan sampai anak muda hanya melihat gimick-gimicknya,” tegas Wildanshah.
Jangan sampai anak muda memilih pemimpin hanya karena pemimpin tersebut memiliki paras rupawan atau masih muda semata. Sehingga dianggap akan menyuarakan kebijakan anak-anak muda saat ini. Selain itu, jangan sampai anak muda terpengaruh dengan gimmick yang mendukung dan mendengarkan anak muda, namun pada kenyataanya kebijakan yang dibuat jauh dari anak-anak muda sebagai generasi penerus bangsa.
“Di luar negeri banyak loh yang mungkin secara usia dia sudah tidak muda lagi, tapi dia konsisten menyuarakan suara-suara anak muda," ucap Wildan.
Maka dari itu, Wildan berharap para anak muda bisa mulai mengenal dan mempelajari calon-calon pemimpin yang nantinya akan dia pilih.
“Itu dia bagaimana kita harus kritis dengan melihat data-data agar 14 Februari nanti," pungkasnya singkat.
(Rizky Pradita Ananda)