UMAT Hindu di Indonesia akan merayakan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945 pada Rabu 22 Maret. Pada saat perayaan Nyepi, warga Hindu khususnya di Bali kerap membuat ogoh-ogoh, boneka besar berbentuk menyeramkan.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi 1986, ogoh-ogoh merupakan ondel-ondel yang beraneka ragam dengan bentuk yang menyeramkan.
Mengutip dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Buleleng, ogoh-ogoh merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan perwatakan dari Butha Kala. Dalam ajaran agama hindu, Bhuta ta Kala merupakan representasi dari kekuatan (Bhu) alam semesta dan juga waktu yang tidak terhingga.
BACA JUGA:
Oleh karena hal tersebut, Bhuta Kala kerap kali digambarkan dalam bentuk yang besar dan menyeramkan. Selain itu ogoh-ogoh ini juga kerap
digambarkan dalam bentuk layaknya makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Syurga dan Naraka dengan bentuk yang menyerupai naga, gajah hingga widyadari.
Seorang cendekiawan Hindu dharma menyimpulkan jika perayaan ogoh-ogoh itu melambangkan keinsyafan manusia terhadap kekuatan alam semesta dan juga waktu yang maha dahsyat.
Masyarakat Bali membuat ogoh-ogoh bukanlah tanpa alasan. Pembuatan ogoh-ogoh memiliki banyak makna untuk masyarakat Bali.
BACA JUGA:
Menurut penjelasan di website resmi Desa Adat Guliang Kangin Bali, ogoh-ogoh merupakan cerminan dari sifat negatif yang ada pada diri manusia.
Dengan ogoh-ogoh yang diarak melewati berbagai lokasi dan melalui jalan utama, akan membuat ogoh-ogoh ini terlihat banyak warga.
Ogoh-ogoh yang dibuat secara swadaya oleh banyak masyarakat akan memberikan gambaran pada kita untuk mau melihat hal-hal negatif yang kita miliki.
Kemudian itu akan membuat kita menyadari bahwa hal tersebut bukanlah hal yang pantas untuk ditakuti. Melainkan untuk di cermati dengan seksama agar kita dapat memahaminya.
Selain itu, ogoh-ogoh yang diarak keliling desa bertujuan untuk menarik setan-setan di sekitar. Masyarakat Bali percaya jika setan-setan di Bali akan mengikuti ogoh-ogoh yang dianggap rumah oleh para setan.

Kemudian setan-setan tersebut akan turut dibakar bersama dengan ogoh-ogoh yang dianggap rumahnya itu.
Pembakaran ogoh-ogoh di akhir pengarakan juga dimaksudkan bahwa biarlah sifat-sifat negatif itu hilang. Dengan demikian, masyarakat dapat memaknai nyepi dengan kehidupan yang benar-benar baru kembali.
(Salman Mardira)