KOTA Batu merupakan salah satu wilayah otonom dari Kabupaten Malang sejak tahun 2001. Ada banyak makam leluhur yang sering kali menjadi tempat ziarah para pendatang di sini. Namun, jauh sebelum itu, Kota Batu memiliki sejarah yang panjang.
Asal-usul nama Batu pada kota ini berasal salah satu tokoh leluhur, yaitu Mbah Wastu atau lebih dikenal dengan nama Mbah Tu. Ia adalah tokoh yang dihormati bahkan dikeramatkan oleh penduduk.
Penyingkatan nama panggilan Mbah Tu inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal nama Kota Batu.
Mengutip laman Tugu Malang, Mbah Tu adalah tokoh yang ikut menyebarkan agama Islam di berbagai daerah, termasuk di Kota Batu.

Bahkan, Mbah Tu menghabiskan sisa hidupnya di sana. Ia juga merupakan murid dari Pangeran Rojoyo, anak dari Sunan Kadilangu, cicit Sunan Kalijaga.
Mbah Tu bisa sampai ke Kota Batu karena berusaha melarikan diri dari kejaran tentara Belanda. Tiba di Kota Batu, ia tidak lantas berdiam diri.
Beliau mulai membangun padepokan di kaki Gunung Panderman, untuk mengajarkan ilmu, termasuk menyebarkan agama Islam.
Sebagai trik untuk mengecoh Belanda, Mbah Tu yang dijuluki Syekh Abdul Ghonaim menggunakan nama samaran yakni Kiai Gubuk Angin atau Mbah Wastu.
Tak hanya di Kota Batu, Mbah Tu juga memperluas wilayah ajarannya hingga daerah sekitar. Ia terus berada di sana hingga meninggal tahun 1847.
Beliau dimakamkan di kompleks pemakaman yang sama dengan tiga tokoh penting penyebar agama Islam di Kota Batu, yakni Pangeran Rojoyo, Dewi Mutmainnah, dan Kyai Naim.
Kompleks pemakaman tersebut terletak di Dusun Banaran, Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Area seluas 500 meter ini sekarang telah menjadi situs religi bersejarah di Kota Malang.

Pada waktu-waktu tertentu, makam akan banyak didatangi oleh peziarah dari berbagai kota, bahkan ada yang dari luar negeri untuk meminta restu.
Dulu di sekitar kompleks makam terdapat penanda titik pusat Desa Bumiaji yang disebut dengan pusar atau titik nol. Namun sayangnya, penanda tersebut sudah tidak ditemukan lagi karena roboh.
(Rizka Diputra)