Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Legenda Nyai Bagelen, Mitos Larangan Menanam Kedelai dan Pelihara Lembu

Kiki Oktaliani , Jurnalis-Senin, 24 Oktober 2022 |21:03 WIB
Legenda Nyai Bagelen, Mitos Larangan Menanam Kedelai dan Pelihara Lembu
Petilasan Nyai Bagelen di Purworejo, Jawa Tengah (Foto: purworejokab.go.id)
A
A
A

SALAH satu tujuan wisatawan jika ke Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah adalah petilasan Nyai Bagelen. Petilasan ini konon telah ada sejak abad ke-9. Tentu saja hal ini menjadi bagian dari sejarah masyarakat Purworejo yang masih dijaga hingga saat ini.

Bahkan tak sedikit masyarakat yang datang untuk berziarah dan mengharap berkah dari kunjungannya tersebut. Lantas siapa itu Nyai Bagelen, dari Negeri Medangkamulan? Berikut Okezone rangkumkan sepenggal kisahnya.

Sejarah Bagelen

Pada dahulu kala, nama Bagelen merupakan bagian dari Negeri Medangkamulan atau Medang Gele atau Pagelen yang diperintah oleh Sri Prabu Kandiawan dan lima orang putranya yang masing-masing memerintah negara bagian.

Infografis Gua Penuh Misteri di Indonesia

Putra sulung bernama Sri Panuwun, ahli dalam pengairan, pertanian dan pemerintahan dan memerintah Negara bagian Medang Gele, yang akhirnya bernama Pagelen.

Sri Panuwun memiliki dua orang anak yang semuanya cacat. Sang prabu sedih, kemudian ia bertapa dan meminta petunjuk. Dari petunjuk tersebutlah ia berangkat ke suatu sendang di Somolangu. Di daerah tersebut Sang Prabu Panuwun memperistri anak perempuan Kyai Somolangu.

Dari pernikahannya itu dianugerahi seorang anak perempuan yang diberi nama Raden Rara Wetan yang kelak terkenal dengan nama 'Nyai Bagelen' dan menjadi pewaris daerah Bagelen.

Legenda Nyai Bagelen

Rara Wetan atau Nyai Bagelen kemudian menikah dengan Pangeran Awu-Awu Langit. Dari pernikahannya ini mereka dianugerahi tiga orang anak, yakni Raden Bagus Gento, Raden Rara Taker dan Raden Rara Pitrah.

Karena Sri Panuwun berpindah kedudukan di Hargopura (Hargorojo), maka Pangeran Awu Awu Langit menggantikan kedudukan sang Prabu di Bagelen. Nyai Bagelen dan suaminya selain menjadi petani maju juga beraktivitas sebagai penenun. Hasil pertanian yang utama di daerah tersebut adalah ketan wulung (hitam) dan kedelai.

Suatu hari pada Selasa Wage, ketika Nyai Bagelen sedang menenun dan anak-anaknya asyik bermain-main tidak jauh dari ia bekerja, tiba-tiba Nyi Bagelen sangat terkejut karena bukan putranya yang sedang menyusu, melainkan seekor anak lembu.

Kemudian dicarilah kedua anak perempuannya dan ditanyakan kepada suaminya yang sedang asyik memilihi bibit ketan wulung.

Infografis Tempat Paling Misterius di Dunia

Karena Jawaban yang diberikan sang suami tak menyenangkan, Nyai Bagelen pun marah dengan alat tenunnya didorong lah lumbung padi dan kedelai sehingga isinya berhamburan.

Padi dan kedelai berhamburan jatuh di Desa Ketesan dan Wingko-tinumpuk. Terkejut bukan kepalang, Nyai Bagelen melihat kedua anak perempuannya terbaring pada bekas lumbung dalam keadaan telah meninggal dunia.

Lantaran hal tersebut, Nyai Bagelen dan Pangeran Awu Awu Langit pun bertengkar. Sang Pangeran memutuskan untuk kembali ke daerah asalnya, namun malang nasib Nyai Bagelen, ia justru mendapatkan kabar duka bahwa sang suami meninggal dunia.

Akhirnya Nyai Bagelen berpesan kepada anak sulungnya, yaitu Raden Bagus Gento seraya mengatakan; “Semua anak cucu serta keturunanku dilarang atau berpantang untuk berpergian atau jual beli, mengadakan hajat pada hari pasaran Wage, karena hari pasaran itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang nahas,” pesan Nyai Bagelen.

Tidak hanya anak, cucu, dan keturunan Nyai Bagelen, penduduk asli di daerah tersebut berpantang untuk menanam kedelai, memelihara lembu, memakai pakaian yang menyerupai pakaian yang dipakai Nyai Bagelen waktu datang bulan yaitu kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bangau tulis.

Setelah menyampaikan pesan itu, Nyai Bagelen masuk ke kamarnya dan kemudian lenyap seketika, tanpa meninggalkan bekas atau murca. Selanjutnya, Raden Bagus Gento menggantikan kedudukannya memerintah daerah Bagelen.

Terdapat sejumlah makam kuno dan peninggalan sejarah Buddha yang berupa stupa-stupa berjumlah 9 buah di petilasan Nyai Bagelen. Masing-masing stupa punya ukuran yang berbeda dan dinyatakan sebagai peninggalan sejarah purbakala yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

(Rizka Diputra)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement