Wabah virus korona yang menyerang Wuhan sejak Desember 2019 telah menggemparkan seluruh dunia. Diduga virus ini pertama kali muncul di pasar ikan Huanan yang menjual beraneka macam hewan liar pembawa penyakit seperti kelelawar dan ular.
Berkaca dari kasus virus korona yang menerpa Wuhan, China, Indonesia juga memiliki beberapa daerah yang memiliki kebiasaan mengonsumsi hewan liar. Pasar-pasr itu kerap menjual aneka hewan yang tidak lazim untuk dikonsumsi.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengatakan kejadian virus korona Wuhan ini bisa menjadi contoh agar masyarakat semakin sadar tentang bahaya yang bisa ditimbulkan dari kebiasaan mengonsumsi hewan liar.
“Pasar tersebut tidak ditutup karena di Indonesia belum terjadi pandemi. Kami mengajarkan agar manusia tidak mengonsumsi makanan yang mengandung risiko pembawa penyakit. Meskipun kejadian di Wuhan pun masih belum jelas disebabkan oleh apa,” terang dr. Siti kepada Okezone, Rabu (29/1/2020).

Terkait dengan virus korona yang disinyalir berasal dari kelelawar, Konsultan Penyakit Tropik Infeksi RSCM, dr. Adityo Susilo, SpPD, K-PTI, FINASIM, mengatakan bahwa virus memiliki kemampuan untuk beradaptasi yang sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan mereka bisa bermutasi.
“Strain (tipe) dari 2019-nCoV dikirim ke WHO untuk diselidiki dan mereka baru akan menjelaskan secara jelas struktur barunya. Virus punya kemampuan untuk beradaptasi sangat tinggi. Virus tak punya organ lain dalam tubuhnya seperti protein dan selubung,” terang dr. Adityo.
Lebih lanjut dr. Adityo mengatakan bahwa virus yang menular dari manusia ke manusia maka akan berpotensi mengalami mutasi. Pada kasus virus korona, mutasi terjadi pada bagian mahkota (crown) yang terbentuk dari protein.
“Ada potensi terjadi mutasi apabila terjadi antigenic drift atau perubahan antigen permukaan yang terjadi hanya sedikit (perubahan kecil pada virus) bahkan hingga menyebabkan antigenic shifting (pergeseran genetik yang bisa menimbulkan strain virus baru),” tuntasnya.
(Helmi Ade Saputra)