 
                LONTONG balap seolah selalu memiliki cara untuk mengenalkan Surabaya kepada para pendatang.
Melalui rasanya, semua lidah akan teringat pada cadasnya kehidupan di Kota Pahlawan. Peluit kereta api berdendang kencang ketika masuk Stasiun Pasar Turi. Pagi yang begitu dingin, selepas azan subuh. Ada sisa genangan air hujan semalam dan para pekerja yang mulai beranjak ke tempat bekerja.
Sepagi itu, Supandi, 43, sudah mendorong rombong lontong balap berwarna biru ke dekat pintu keluar stasiun. Bersiap menyambut para penumpang yang turun dengan perut keroncongan. Di samping lapak penjual buku bekas di Jalan Semarang, Supandi mulai mengenalkan lontong balap.
Dua tiga ketukan piring dibunyikan, menarik perhatian para pendatang yang tiba di Surabaya. Kursi plastik kecil mulai disiap kan untuk tempat duduk. Tangannya lincah memotong lontong. Aroma legit taoge ikut keluar bersama kebulan asap dari panci besar yang dibuat dari tanah liat.
“Rasa kuahnya beda kalau pakai panci tanah liat,” kata Supandi, Jumat (18/1). Irisan lontong sengaja dibuat tipis dengan model tirus supaya para pembeli mudah melahapnya. Tahu dan lento goreng melengkapi sajian utama sebelum disiram kuah panas bersama taoge.
Embusan angin pagi membawa kehangatan lontong balap ke permukaan hidung yang mampu membuka mata dan kesadaran setelah berjam-jam di gerbong kereta. Ketika seseorang datang ke Surabaya, mereka harus ber keringat.