Pandji Terlilit Polemik Candaan Adat, Ini Sejarah Tana Toraja 

Rani Hardjanti, Jurnalis
Selasa 04 November 2025 11:38 WIB
Pandji Terlilit Polemik Candaan Adat, Ini Sejarah Tanah Toraja. (Foto: tanatorajakab.go.id)
Share :

JAKARTA - Komika Pandji Pragiwaksono tengah terlilit candaan soal adat suku Toraja yang ia lontarkan pada 2013 silam. Pandji Pragiwaksono mengangkat materi tentang upacara adat pemakaman Rambu Solo' di Toraja.

Diketahui bahwa candaan itu Pandji lontarkan dalam pertunjukan Mesakke Bangsaku pada 12 tahun lalu. Kemudian, videonya viral baru-baru ini.

Pandji telah berdialog dengan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi. Dalam pembicaraan lewat telepon, Rukka menceritakan dengan sangat indah tentang budaya Toraja tentang maknanya, nilainya, dan kedalamannya. 

"Dari obrolan itu, saya menyadari bahwa joke yang saya buat memang ignorant, dan untuk itu saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat Toraja yang tersinggung dan merasa dilukai," ujar Pandji dalam postingannya, seperti dikutip dari pandji.pragiwaksono, Selasa (4/11/2025). 

Saat ini ada dua proses hukum yang berjalan, yakni proses hukum negara, karena adanya laporan ke kepolisian, dan proses hukum adat. 

"Berdasarkan pembicaraan dengan Ibu Rukka, penyelesaian secara adat hanya dapat dilakukan di Toraja," ujarnya. 

Terkait hal itu, menarik untuk membahas sejarah singkat Tana Toraja. Sebelum menggunakan kata Tana Toraja, daerah ini terkenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo, yang berarti negeri dengan bentuk pemerintahan dan kemasyarakatan yang merupakan suatu kesatuan yang utuh-bulat bagaikan bulan dan matahari.

Dikutip dari data sejarah Pemkab Tana Toraja, kata Tana Toraja baru dikenal sejak abad ke-17, yaitu sejak daerah ini mengadakan hubungan dengan beberapa tetangga di daerah Bugis: Bone, Sidenreng, dan Luwu.

Ada beberapa pendapat mengenai arti kata Toraja, antara lain dari bahasa Bugis: To = orang, dan Riaja = dari utara. Ada pula yang berpendapat bahwa To Riaja berarti orang dari barat. Begitu menurut pendapat dari Luwu pada permulaan abad ke-19 ketika penjajah mulai merentangkan sayapnya ke daerah pedalaman Sulawesi Selatan.

Tahun 1906, pasukan penjajah tiba di Rantepao dan Makale melalui Palopo. Ketika penjajah itu tiba di Rantepao dan Makale, mereka dihadapi dengan gigih oleh beberapa pemimpin Toraja, antara lain Pongtiku, Bombing, Wa’Saruran, yang menimbulkan banyak korban di pihak penjajah.

Pemerintah Hindia Belanda mulai menyusun pemerintahannya yang terdiri dari distrik, bua’, dan kampung yang masing-masing dipimpin oleh penguasa setempat (puang, parengge’, dan ma’dika).

Setelah 19 tahun Hindia Belanda berkuasa di daerah ini, Tana Toraja dijadikan sebagai onderafdeling di bawah selfbestuur Luwu di Palopo yang terdiri dari 32 lanschaap dan 410 kampung, dan sebagai controleur yang pertama ialah H. T. Manting.

Pada 8 Oktober 1946, dengan besluit LTTG tanggal 8 Oktober 1946 nomor 5 (Stbld. 1946 Nomor 105), onderafdeling Makale/Rantepao dipisahkan dari Swapraja yang berdiri sendiri di bawah satu pemerintahan yang disebut Tongkonan Ada’.

Landasan Hukum 

Pada saat pemerintahan berbentuk Serikat (RIS) tahun 1946, Tongkonan Ada’ diganti dengan suatu pemerintahan darurat yang beranggotakan tujuh orang dibantu oleh satu badan yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI) yang beranggotakan 15 orang.

Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 482, Pemerintah Darurat dibubarkan dan pada tanggal 21 Februari 1952 diadakan serah terima pemerintahan kepada Pemerintahan Negeri (KPN) Makale/Rantepao, yaitu kepada Wedanan Andi Achmad. Saat itu wilayah yang terdiri dari 32 distrik dan 410 kampung diubah menjadi 15 distrik dan 133 kampung.

 

Berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1957 dibentuklah Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 31 Agustus dengan bupati kepala daerah pertama bernama Lakitta.

Pada tahun 1961, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat Sulawesi Selatan Nomor 2067 A, administrasi pemerintahan berubah dengan penghapusan sistem distrik dan pembentukan pemerintahan kecamatan.

Tana Toraja pada waktu itu terdiri atas 15 distrik dengan 410 kampung berubah menjadi 9 kecamatan dengan 135 kampung. Kemudian, dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 450/XII/1965 tanggal 20 Desember 1965, diadakan pembentukan desa gaya baru.

Berdasarkan SK Gubernur tersebut, ditetapkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tana Toraja Nomor 152/SP/1967 tanggal 7 September tentang pembentukan desa gaya baru dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja sebanyak 65 desa gaya baru yang terdiri dari 180 kampung.

Berdasarkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dari 65 desa gaya baru tersebut berubah menjadi 45 desa dan 20 kelurahan.

Selanjutnya, dengan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tana Toraja Nomor 169 Tahun 1983 tanggal 26 September 1983 dibentuklah dusun dalam desa dan lingkungan dalam kelurahan. Berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1980, dari 65 desa dan kelurahan tersebut dibentuk lagi 18 desa persiapan yang kemudian ditetapkan menjadi desa definitif pada 29 November 1982.

Pembentukan wilayah kerja pembantu bupati kepala daerah wilayah utara dilakukan berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 1988 tanggal 26 September 1988, meliputi Kecamatan Rantepao, Sanggala', Sesean, dan Rindingallo.

Selanjutnya, pada tahun 1989 hingga 1997, terjadi beberapa kali pemekaran dan pengesahan desa serta kelurahan baru melalui berbagai SK Gubernur. Hingga berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kabupaten Tana Toraja memiliki 15 kecamatan, 208 desa, dan 47 kelurahan.

Melalui Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja Nomor 6 Tahun 2005 tentang perubahan ketiga atas Perda Nomor 18 Tahun 2000, Kabupaten Tana Toraja kemudian terdiri atas 40 kecamatan, 87 kelurahan, dan 223 lembang.

Berdasarkan aspirasi dan proses panjang, pada 21 Juli 2008 ditetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara, sehingga wilayah administratif Kabupaten Tana Toraja terbagi dua: Kabupaten Tana Toraja (induk) dan Kabupaten Toraja Utara (daerah otonom baru), yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada 26 November 2008. Setelah pemekaran, luas Kabupaten Tana Toraja menjadi 2.054,3 km² yang terdiri dari 19 kecamatan, 112 lembang, dan 47 kelurahan.

Seperti diketahui, stand up comedy bertajuk Mesakke Bangsaku itu viral lagi di media sosial dan menyoroti materi Pandji Pragiwaksono yang menyinggung soal adat dan budaya Toraja. Dalam stand up comedy di tahun 2013 itu, Pandji membahas perihal tradisi pemakaman di Tana Toraja yang mengeluarkan banyak biaya.

“Di Toraja kalau ada keluarga yang meninggal, makaminnya itu pakai pesta yang mahal banget. Bahkan banyak orang Toraja yang jatuh miskin habis bikin pesta pemakaman keluarganya,” ucap Pandji dalam stand up comedy itu.

Pandji juga membuat lelucon bila sanak keluarga tak mampu membuat pesta pemakaman sehingga jenazah hanya diletakkan di ruang keluarga.

Ungkapan Pandji tersebut membuat masyarakat Toraja meradang hingga mendesak komika ini untuk meminta maaf dan mempertanggungjawabkan ucapannya.

(Rani Hardjanti)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Women lainnya