JAKARTA – Rendahnya angka pemberian ASI eksklusif di Indonesia menjadi sorotan pada Pekan Menyusui 2025. Dokter Spesialis Anak yang juga Direktur Medis Morula Indonesia, dr. I Gusti Ayu Nyoman Partiwi, menyebutkan saat ini angka keberhasilan menyusui secara eksklusif selama enam bulan masih sangat rendah.
“Terakhir saya dengar, angka keberhasilan ASI eksklusif baru mencapai sekitar 37 persen. Ini cukup mengkhawatirkan, padahal ASI adalah solusi yang murah dan efektif untuk mengatasi kematian bayi serta masalah gizi,” ujar dr. Tiwi, sapaan akrabnya.
Ia menjelaskan bahwa banyak ibu berhenti menyusui karena ASI dianggap tidak cukup, padahal produksi ASI akan bertambah jika payudara dikosongkan secara rutin. Jika ibu menunggu ASI melimpah baru mulai memerah, justru bisa menghambat produksi.
“Formula memang ada tempatnya, terutama untuk kondisi darurat. Tapi bukan berarti menyusui bisa dihentikan. Ibu harus tetap memerah setiap dua sampai tiga jam agar hormon menyusui tetap aktif,” lanjut dr. Tiwi.
Ia juga menyoroti tantangan yang dihadapi ibu bekerja. Menurutnya, menyusui tidak hanya soal fisik, tapi juga dipengaruhi kondisi emosional. Saat ibu mengalami stres atau tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan kerja, produksi hormon prolaktin dan oksitosin bisa menurun drastis, yang akhirnya membuat ASI berhenti.
Presiden Direktur PT Bundamedik Tbk, Agus Heru Darjono, menyampaikan bahwa perusahaan telah mengambil langkah nyata dengan mewajibkan seluruh unit usaha di bawah RS Bunda Group menyediakan ruang laktasi. Kebijakan ini diterapkan kurang dari tiga minggu sejak keputusan diambil.
“Kami percaya bahwa mendukung ibu menyusui akan berdampak langsung pada produktivitas karyawan dan keberhasilan perusahaan. Karena itu, ini bukan hanya bentuk kepedulian, tapi juga strategi jangka panjang,” jelas Agus Heru.
Dalam forum yang sama, dr. Klara Yuliarti, Konsultan Gizi Anak dari RSIA Bunda Jakarta, juga membagikan pengalamannya. Ia mengakui sempat gagal menyusui anak pertamanya, namun berhasil pada anak kedua karena persiapan yang lebih matang. Menurutnya, edukasi seputar menyusui harus dimulai sejak kehamilan agar ibu tidak panik saat menghadapi kesulitan seperti ASI lambat keluar atau bayi tidak menyusu optimal.
Acara ini menjadi pengingat bahwa menyusui bukan sekadar proses biologis, tapi juga perjalanan emosional yang menuntut dukungan dari berbagai pihak. Tenaga medis, keluarga, keadaan ekonomi, hingga dunia kerja memiliki peran besar dalam menciptakan sistem yang berkelanjutan demi keberhasilan menyusui dan masa depan anak-anak Indonesia.
“ASI bukan hal mudah bagi semua ibu. Tapi kalau kita semua mendukung, ibu tidak akan merasa sendiri dalam proses ini,” tutup dr. Tiwi.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)