DALAM menyambut Hari Pendengaran Sedunia yang diperingati setiap 3 Maret, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyoroti permasalahan tuli kongenital yang masih cukup banyak terjadi pada anak-anak.
Ketua Umum PP Perhimpunan Ahli THT Bedah Kepala Leher Indonesia (Perhati KL), Dr. dr. Yussy Afriani Dewi, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. Onk. (K)., M. mengungkap bahwa deteksi dini tuli kongenital di Indonesia masih belum efektif.
Tuli kongenital atau yang disebut juga dengan tuli sejak lahir merupakan kondisi hilangnya pendengaran bayi yang muncul sejak saat lahir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Perhati KL, masih banyak orangtua yang baru mengetahui anaknya terkena gangguan pendengaran saat sudah berusia satu tahun ke atas.
“Dari hasil penelitian yang kami lakukan, umur anak pada saat ibu mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan pendengaran itu, lebih banyak didapatkan responden dengan usia anak yang lebih dari satu tahun sebanyak 365,” tutur dr. Yussy dalam Press Briefing tentang Hari Pendengaran Sedunia yang diadakan Kemenkes, Jumat (1/3/2024).
Dokter Yussy menjelaskan berdasarkan imbauan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), gangguan pendengaran pada anak seharusnya sudah dideteksi sejak usia anak masih kurang dari dua bulan.
Sebab, jika anak memiliki tuli kongenital dan tidak segera dideteksi dan ditangani dengan menggunakan alat bantu dengar, maka hal ini dapat menyebabkan anak menjadi terlambat berbicara dan menghambat perkembangan berbahasa, kognitif, emosi serta komunikasi sosial.
“Padahal saran dari WHO juga, umur diketahui bahwa anak sudah mengetahui gangguan pendengaran adalah kurang dari dua bulan,” ujarnya.