Di Kota Kudus, popularitas batik yang sudah menjadi komoditas di tahun 1500-an. Eksistensi batik kudus kian berkembang, utamanya pada 1935 hingga dekade 1970-an. Batik yang diproduksi dengan penggarapan yang halus ini, seringkali dikenakan oleh kalangan menengah ke atas. Pada perkembangannya, batik kudus mulai mengalami kemunduran pada 1980-an.
Kemunduran ini ditandai dengan semakin menurunnya jumlah pengrajin batik lantaran kemunculan batik printing dengan proses pembuatan yang lebih cepat dan harga yang lebih murah, sehingga membuat para pengrajin batik kudus mengalami gulung tikar karena tidak mampu beradaptasi.
Sejak 2010, Bakti Budaya Djarum Foundation melakukan program pembinaan kepada para pengrajin batik kudus dan menghidupkan kembali para pengrajin yang tadinya telah beralih profesi, serta memupuk generasi baru penerus kerajinan batik kudus. Di tahun 2015, mereka mulai berkolaborasi dengan desainer Denny Wirawan untuk mengangkat batik kudus dengan sentuhan unik dan inovatif.
“Koleksi Sandyakala Smara tak sekadar busana, namun sebuah perjalanan budaya dan kreativitas yang mempertemukan antara masa lalu dan saat ini dengan harmoni. Sebuah perwujudan, serta penghormatan atas warisan keindahan wastra dengan pembaruan yang dikemas dalam estetika yang memukau,” kata Denny Wirawan.
Dengan suasana senja yang memancarkan pesona sendiri, acara ini tidak hanya menghadirkan keindahan busana, tetapi juga menghormati warisan budaya dan seni arsitektur yang kaya di Kudus, menciptakan pengalaman yang tak terlupakan bagi semua yang hadir.
"Sandyakala Smara ini adalah sebuah persembahan istimewa sekaligus menghargai perjalanan panjang dalam berkarya melalui kain dan pola yang telah memberikan warna baru bagi dunia mode Indonesia. Semoga keindahan batik kudus yang ditampilkan dengan latar belakang langit dan rumah adat Kudus, memberikan pengalaman berbeda yang menggugah hati dan merayakan warisan budaya yang kaya di tengah kita," kata Renitasari.
(Tuty Ocktaviany)