PERAN perempuan di dunia bisnis terus meningkat, buktinya kini sudah banyak sosok wanita hebat yang berhasil menjadi pelopor sekaligus mengelola perusahaan besar berstandar nasional, seperti prestasi membanggakan yang ditorehkan Helga Angelina.
Nama Helga Angelina sendiri mulai terdengar gaungnya setelah menggebrak industri kuliner dengan produk makanan sehat. Berkat inovasi dan terobosan yang dilakukannya, ia sempat masuk dalam daftar 30 under 30 Asia versi Forbes Magazines pada 2016.
Namun untuk mendapatkan prestasi membanggakan itu, Helga harus melalui berbagai pengalaman tidak menyenangkan sejak merintis bisnis kuliner. Salah satunya persoalan gender di dunia kerja.
Helga tidak menampik bahwa perusahaannya merupakan perusahaan berbasis makanan yang memang dia dirikan bersama suami tercinta. Namun sejak awal terbentuk, keduanya telah sepakat untuk membagi boundary atau tugas masing-masing. Hal itu dilakukan demi meminimalisir miskomunikasi.
"Kalau aku lebih membagi boundary atau wilayah yang sangat jelas, misalnya untuk urusan bisnis aku yang kelola, sementara urusan dapur dipercayakan ke suami. Dengan demikian, untuk urusan bisnis, aku yang memegang keputusan, namun suamiku juga bisa memberikan input, begitupun sebaliknya," ujarnya saat ditemui Okezone belum lama ini.
Meski cara itu terbukti berhasil mengembangkan bisnis mereka, namun tetap saja Helga harus menghadapi sejumlah permasalahan yang datang dari iklim bisnis itu sendiri. Contohnya saat dia hendak melakukan pertemuan atau meeting dengan klien.
"Jadi memang kalau perempuan, apalagi yang muda, punya kecenderungan agak diremehkan. Apalagi kalau bertemu orang-orang yang punya pola pikir masih tradisional, belum banyak exposure ke internasional community," tutur Helga.
"Paling sederhana waktu aku mau meeting dengan klien, banyak banget orang-orang yang mikir kalau suami aku CEO-nya. Gender seperti itu masih ada," timpalnya.
Lebih lanjut Helga menjelaskan, menurut penelitian, rata-rata perempuan yang berprofesi sama dengan pria, gajinya justru lebih rendah. Begitu pula saat para pengusaha perempuan hendak mencari dana ke investor.
Valuasi perusahaan yang dipimpin oleh seorang pria jauh lebih tinggi dibanding perusahaan yang dipimpin perempuan. Dalam arti lain, perusahaan yang memiliki CEO pria jauh lebih mungkin mendapatkan investasi. Padahal dari segi performa bisa saja sama.
"Memang ada bias-bias seperti itu. Karena aku udah aware, jadi persiapannya lebih ekstra aja," ucapnya.
Kendati demikian, Helga menegaskan tidak semua investor memiliki karakteristik yang sama. Namun berkat pengalaman tersebut, dia mulai menyadari gender bias di dunia bisnis itu benar-benar nyata adanya.
Di Indonesia sendiri permasalahan gender bias di dunia kerja sebetulnya mulai membaik. Buktinya kini semakin banyak orang yang mengangkat isu tersebut. Tak sedikit pula pria yang ikut dalam pergerakan atau movement tentang woman empowerment.
"Tapi menurut aku ya masih lumayan jauh kalau kita ngomongin gender balance sama yang di Eropa. Masih sangat jauh, tapi kita sudah menuju arah ke sana," tutupnya.
(Abu Sahma Pane)