INDONESIA dilaporkan menjadi salah satu negara yang paling rentan terkena isu hoax kesehatan. Bukan tanpa alasan, menurut data yang dikeluarkan oleh We Are Social dan Hootsuite (2018), setidaknya lebih dari 130 juta atau 49% dari total jumlah penduduk Indonesia mengakses media sosial selama lebih dari 3 jam setiap hari.
Kebiasaan tersebut, secara tidak langsung diklaim dapat memengaruhi pola pikir masyarakat. Sehingga tidak menutup kemungkinan bila sebagian besar di antara mereka akan membenarkan informasi yang didapatkan di media sosial.
Asumsi ini didukung oleh hasil survey tentang Wabah Hoax Nasional yang dilakukan Mastel pada 2017 lalu. Media sosial terbukti menduduki peringkat pertama untuk kategori saluran penyeberan berita hoax terbanyak dengan total 92.40%.
Artinya, sebagian besar hoaks atau berita bohong yang diterima masyarakat Indonesia berasal dari platform tersebut.
Terkait hal ini, dr. Mahesa Paranadipa M, M.H, selaku ketua umum DPP Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) menegaskan bahwa masyarakat Indonesia harus berhari-hati dan melatih diri untuk melawan hoax, terutama menyangkut isu kesehatan.
Apalgi sekarang dunia tengah diresahkan oleh kasus visus corona (CVOID-19), yang berasal dari Kota Wuhan, China. Belum genap dua bulan, sudah banyak hoax corona yang bertebaran di media sosial seperti WhatsApp hingga Facebook.
"Hoax kesehatan itu dampaknya lebih parah dari masalah kesehatan itu sendiri. Orang jadi lebih mudah percaya informasi-informasi yang tidak jelas kebenarannya, dibanding berkonsultasi lansung dengan ahlinya," tegas Dokter Mahesa saat ditemui di kawasan Hayam Wuruk, Jakart Pusat, Sabtu (29/2/2020).