Kelenteng Talang awalnya dibangun sederhana berpenampilan semi permanen. Berfungsi sebagai kantor administrasi bagi masyarakat Tionghoa di Cirebon. Setelah itu, Teddy menambahkan, pada tahun 1450-1475, masyarakat Tionghoa di Cirebon, akhirnya putus hubungan dengan Negara Tiongkok.
"Ketika masa penjajahan Jepang, tempat ini sudah tidak berfungsi. Baru pada tahun 1950 tempat ini dijadikan tempat ibadah," jelasnya.
Dikatan Teddy, jika nama Talang sendiri berasal dari dari kata Toa Lang yang berarti orang besar atau tuan besar. Istilah tersebut ditunjukkan kepada tiga orang laksamana yang kesemuanya itu beragama Islam yaitu Cheng Ho, Fa Wan, dan Khung Wu Fung. Karena masyarakat Cirebon susah melafalkan kata Toa Lang, maka akhirnya masyarakat menyebutnya Kelenteng Talang.
“Orang kadang ada yang berfikir kalau Klenteng Talang ini bangunannya mirip masjid, tapi bukan. Dari dulu ini tetap Klenteng cuma memang anak buah Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam di sini semua, bahkan beribadah di sini juga,” katanya.
Teddy juga mengaku, hubungan masyarakat Tionghoa dengan orang Cirebon sangatlah harmonis. Hal itu ditunjukan dengan adanya pejabat di Kesultanan Cirebon yang beretnis Tionghoa. Walaupun keharmonisan itu sempat diganggu oleh Belanda, dengan menerapkan sistem politik adu domba, nyatanya hingga sekarang hubungan baik masyarakat Cirebon dan Tionghoa masih terjalin sampai saat ini.