Di Kelurahan Mahakeret Barat, Kecamatan Wenang, Manado, Sulawesi Utara (Sulut) terdapat makam dari Istri dan anak Sri Sultan Hamengku Buwono V, yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan Pangeran Arya Suryeng Ngalaga.
Di depan kompleks makam terdapat gapura bertuliskan "Tempat Pemakaman Permaisuri Sri Sultan HB V, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, wafat 25 Mei 1918.
Sekira 50 meter masuk ke dalam kompleks makam, di sebelah kanan terlihat bangunan berbentuk joglo berwarna putih yang dikelilingi pagar beton. Di dalam bangunan itu bersemayam jasad dari Kanjeng Ratu Sekar Kedaton.
Masuk ke dalam kompleks kuburan Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, di depannya terdapat kuburan dari Gusti Timur Muhammad Suryeng Ngalaga, Putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono V.
Di sisi kiri kompleks bangunan terdapat empat kuburan kuno dan enam kuburan bertegel putih. Tidak diketahui itu kuburan siapa, disalah satu kuburan kuno tertulis Raden Nganten Sindoe Atmodjo. Diyakini itu merupakan kuburan dari pengikut Kanjeng Ratu Sekar Kedaton ketika dibuang ke Manado oleh Belanda.
Kondisi kuburan cukup bersih dan terawat, namun sayangnya kondisi cat bangunan sudah banyak terkelupas begitu juga dengan atapnya. Papan nama larangan dari Pemerintah Provinsi Sulut pun hampir tidak terbaca.
Selain itu juga, untuk bisa masuk ke kuburan ini harus ekstra hati-hati karena di sekeliling bangunan terdapat kuburan lainnya yang saling berdempetan sehingga kita harus waspada melewatinya jangan sampai menginjak kuburan orang lain.
Di depan kompleks makam Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan Putranya terdapat juga makam dari ulama pejuang perang Cilegon, Banten 1888, Syech Mas .M. Arsyad Thawil AlBantani yang wafat pada 19 Maret 1934.
Di Manado, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan Putranya bersama para pengikutnya menetap di Kampung Pondol yang pada waktu itu merupakan kampung yang letaknya paling ujung. Pondol berasal dari Bahasa Bantik yang artinya ujung. Pada waktu itu Pondol terbagi dua, Pondol Keraton dan Pondol Raden Mas.
"Kampung ini namanya Pondol, di sebelah Pondol Keraton dan di sini Pondol Raden Mas karena ada anaknya," ujar Haji Muhammad Albuchari (77) bekas juru kunci makam Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan anaknya kepada Okezone, Rabu (27/12/2017).
Yang dimaksud Pondol Keraton oleh Albuchari merupakan Kampung Pondol tempat berdirinya sebuah keraton yang diperkirakan berada di antara Gereja GPDI Pusat Manado dan sebuah pusat perbelanjaan yang terletak di Jalan Sam Ratulangi 4 sekarang ini.
Sementara Pondol Raden Mas berada di Masjid Al Muttaqin, di jalan Sam Ratulangi 5 yang diyakini merupakan tempat tinggal dari putra Sultan Hamengku Buwono V. Dahulu Masjid Al Muttaqin berada di dekat pantai, karena terkena abrasi di pindahkan ke lokasinya sekarang ini. Masjid Al Muttaqin di Pondol ini merupakan masjid tertua di Manado.
(Baca Juga: Sosok Darto yang Disebut "Dukun" Sultan HB X Petani Biasa)
"Sisa-sisa keraton sudah tidak ada lagi karena terkena bom pada perang dunia ke II," kata Albuchari yang juga merupakan Imam Masjid AlMuttaqin.
Dahulu menurut Al Buchari, Kampung Jawa membentang luas dari kompleks rumah dinas gubernuran sekarang, di Kelurahan Bumi beringin sampai ke Pondol. Kampung Jawa merupakan tempat tinggal dari pengikut Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan para abdi dalem keraton
"Ayah saya KH Abdurahman Albuchari dulu sering ambil blasting (iuran) kepada mereka penghuni Kampung Jawa, perbulannya 1 quart, setara 25 sen," lanjut Albuchari yang selama 20 tahun menjadi juru kunci makam.
Sekarang tinggal sedikit warga Jawa pengikut Kanjeng Ratu Sekar Kedaton yang tersisa di kompleks rumah dinas gubernuran tersebut. "Dari semua tinggal satu saja abdi dalem keraton yang masih hidup, ayah dari Yasti Soepredjo, Bupati Bolaang Mongondow sekarang, yang lainnya sudah meninggal," lanjut Albuchari.
Awalnya kompleks pemakaman terbagi tiga, yakni untuk etnis Borgo, Cina dan Belanda. Pekuburan Cina dan Belanda sudah tidak ada lagi karena dibongkar dan dibangun Persekolahan Kristen Eben Haezar.
"Pekuburan Borgo tidak dibongkar karena ada makam Kanjeng Ratu Sekar Kedaton disitu, kalau kubur Belanda habis, kubur Cina juga habis," tambah Albuchari.
Kini, setelah 20 tahun lamanya, Albuchari tidak lagi menjadi juru kunci makam, tugasnya diambil alih oleh Sukardi Soepredjo, ayah dari Yasti Soepredjo yang merupakan mantan abdi dalem keraton.