PURBALINGGA - Komunikasi intensif antara orangtua dan anak berperan penting dalam proses pembentukan karakter, sehingga diperlukan pemahaman yang benar tentang tata cara berinteraksi yang benar.
"Orang tua harus mengintensifkan komunikasi dengan anak-anak mereka, orang tua juga harus mengetahui ilmu komunikasi yang baik," ujar psikolog dari RSUD Cilacap, Jawa Tengah, Reni Kusumowardhani dalam acara Seminar Pembentukan Karakter Anak di Pendapa Dipokusumo Purbalingga, Jawa Tengah, Senin (27/11/2017).
Dia juga menambahkan, pola komunikasi yang intensif sangat diperlukan pada era digital. "Pada era digital, untuk merebut hati anak, orang tua harus bersaing dengan 'gadget'," katanya.
Dia menambahkan, ada berbagai alasan mengapa anak-anak sangat menyukai gadget. "Mereka sangat menyukai gadget dan internet karena memiliki sifat interaktif, mudah mencari informasi, banyak permainan, 'friendly' dan tidak akan marah ketika kita sedang jengkel, tampilannya sangat luar biasa dan menyenangkan. Gadget dan internet sekarang menjadi sahabat yang luar biasa bagi anak," katanya.
Untuk itu, dia mendorong orang tua untuk mengintensifkan komunikasi dengan anak dan menjadi "sahabat" yang menyenangkan bagi anak-anak mereka.
Sementara itu, dia juga menambahkan, untuk membentuk karakter anak, keluarga harus menciptakan lingkungan yang berkualitas. "Pada intinya, untuk membangun karakter anak harus diawali dari keluarga yang berkualitas," katanya.
Contohnya, kata dia, orang tua harus memiliki waktu yang berkualitas untuk anak. "Selain itu, oang tua harus mampu membuat komunikasi dan menjadi teladan dengan terlebih dahulu menjadi orang tua yang berahlak mulia," katanya.
Minat Baca dan Hoax
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Public Relation Indonesia (APPRI) Suharjo Nugroho melihat ada korelasi antara suburnya "hoax" (berita palsu) di Tanah Air dengan rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia.
"Kenapa "hoax" laku di Indonesia, menurut saya ada dua. Pertama data dari Unesco menyebutkan minat baca di Indonesia itu 0,001 artinya satu orang dari 1.000 orang yang baca buku, sedikit banget," kata Suharjo dalam dialog Konvensi Nasional Humas (KNH) 2017 di Kota Bogor, Jawa Barat, Senin.
Data berikutnya dari hasil studi "Most Litered Nation in the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu Indonesia menduduki rangking ke 60 dari 61 negara paling rendah minat bacannya.
"Indonesia berada persis di bawah Thailand (59) dan di atas Bostawa, Afrika (61) Alasan yang kedua lanjutnya, pengguna gawai (gadged) di Indonesia mencapai 60 juta, urutan kelima di dunia terbesar. Tahun depan jumlahnya diperkirakan akan naik menjadi 100 juta, dan akan menjadi rangking keempat di dunia.
(Baca Juga: Anak Terlanjur Kecanduan Gadget, Begini Moms Trik Jitu Mengatasinya)
"Masyarakat Indonesia itu menatap layar telepon genggam bisa berjam-jam. Menatap layar bisa lebih lama dari pada menatap pasangan sendiri," katanya.
Hasil studi lainnya juga menyebutkan masyarakaf Indonesia paling cerewet di dunia maya. Urutan kelima dalam meng-twet pesan di media sosial. Indonesia urutan kelima paling banyak ngetwet, diperparah lagi kebiasaan curhat di media sosial.
"Bayangkan orang yang ngak suka baca menatap gadget sembilan jam sehari, ya jadinya isinya hoax semua. Jadi kalau ngak baca hoax ya nyebarin hoax," katanya.
Hasil studi lainnya menyebutkan minat baca rendah tidak hanya terjadi pada orang yang berpendidikan rendah. Bahkan orang yang berpendidikan tinggi, juga ikut menyebarkan hoax dan kena "hoax" juga.
(Baca Juga: Mulai Konyol hingga Memprihatinkan, Video 4 Orang Anak Ini Viral Berkat Aksinya)
Menurut Suharjo masyarakat luar heran dengan peredaran "hoax" di Indonesia, karena di beberapa negara "hoax" tidak bisa beredar. Di Jepang tidak boleh menyebarkan hoax, di Tiongkok akan kena tembak, karena negara Komunis, sedangkan di Filiphina, orang yang menyebarkan hoax akan hilang entah kemana. "Kalau di negara luar yang menyebarkan hoax adalah pemerintahnya, di Indonesia semua orang menyebarkan hoax," kata Suharjo.