Penyakit ginjal menduduki peringkat keempat sebagai penyakit tidak menular yang menghabiskan biaya terbanyak. Ketua Umum PB PERNEFRI, dr. Aida Lydia, PhD, Sp. PD-KGH mengatakan satu dari tiga orang berpotensi mengalami gangguan ginjal kronik.
Lebih lanjut hanya satu dari 10 orang mengetahui bahwa ia mengalami gangguan ginjal. Alhasil sembilan orang lainnya baru mengetahui terkena gangguan ginjal ketika sudah memasuki stadium lanjut.
Jika sudah memasuki stadium kelima (akhir) maka seseorang bisa disebut mengalami gagal ginjal. Tapi bukan berarti pasien yang mengalami gagal ginjal sudah tidak bisa diselamatkan. Dokter Aida menjelaskan ada tiga pengobatan yang bisa ditempuh oleh penderita gagal ginjal.
“Tiga cara tersebut adalah hemodialisa (HD), Continous Ambulatory Peritonial Dialysis (CAPD) dan transplantasi ginjal atau cangkok ginjal,” terang dr. Aida dalam acara Peringatan Hari Ginjal Sedunia 2020 di Jakarta Selatan, Rabu (11/3/2020).

Lebih lanjut, dr. Aida mengatakan bahwa masing-masing pengobatan memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Meski demikian, 80 persen masyarakat di dunia lebih memilih untuk menggunakan metode hemodialisa dalam upaya mengobati gagal ginjal.
“Kalau CAPD pasien bisa kemana-mana karena bisa dilakukan sendiri. Tapi mereka harus rutin mengganti cairan itu sendiri (melalui membran yang ada di dalam perut). Proses pergantian dilakukan 3-4 kali sekali dan pasien bisa mengganti sendiri. Tapi kalau pasien tak disiplin bisa menyebabkan infeksi,” lanjutnya.
Cara yang paling baik bagi seseorang yang mengalami gagal ginjal adalah melakukan transplantasi. Pasalnya proses transplantasi bisa menggantikan fungsi ginjal seseorang secara utuh. Sayangnya transplantasi ginjal cukup rumit dan memakan biaya yang tidak murah.
“Kalau transplantasinya bagus, maka bisa mengganti fungsi ginjal seutuhnya. Tapi kelemahannya adalah untuk mencari donor ginjal. Pasalnya sebagian besar donor ginjal adalah donor hidup,” tuntasnya.
(Helmi Ade Saputra)