JENAZAH para pejuang kemerdekaan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalijahe, tak jauh dari kawasan wisata Coban Jahe.
Menariknya ada kisah unik saat pemindahan para jasad pahlawan yang tinggal tulang belulang, hendak dipindah ke TMP Kota Malang.
Juru Kunci TMP Kalijahe, Muhammad Agus Purwanto mengatakan, pada tahun 1995 lalu ada rencana pemindahan jasad para pahlawan dari kompi Gagak Lodra itu. Tapi peristiwa di luar nalar terjadi begitu tulang belulang itu dinaikkan ke atas mobil.
“Saat mau dipindahkan ke taman makam pahlawan yang lebih layak di tahun 1995-an. Semuanya sudah dalam bentuk tulang belulang dan ditaruh di mobil, namun mobil tiba-tiba mogok enggak bisa jalan,” ujar Agus.
Keanehan muncul saat tulang belulang itu diturunkan dari mobil, ternyata mesin mobil bisa menyala dan berjalan normal. Padahal saat tulang belulang itu berada di mobil sama sekali tidak bisa menyala.
“Jadi, mobil yang digunakan memindahkan itu mogok enggak rusak, artinya beliau-beliau ini memberitahu saya enggak mau dipindah, tetap di sini saja. Padahal, rencananya kan mau dipindah ke Tumpang atau makam pahlawan di Kota Malang,” kata dia.
Dari sanalah disebut Kek Wur, sapaan akrabnya tulang belulang sekitar 38 pejuang tersebut kembali dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalijahe hingga saat ini.
Meski dikuburkan secara massal di lahan kecil dengan simbol 15 batu nisan, Taman Makam Pahlawan Kalijahe ini cukup memberi bukti sejarah pada masyarakat sekitar Kecamatan Jabung bahwa ada pertempuran di tempat terpencil ini hingga memakan banyak korban.
“Biasanya makam pahlawan itu kan beda lokasi dengan tempat gugurnya, tapi di sini salah satu taman makam pahlawan yang juga menjadi lokasi gugurnya para syuhada dan sayyidah,” terang Agus.
Sekadar kilas balik lanjut Kek Pur, peristiwa pembantaian 38 pejuang di Coban Jahe ini disebabkan adanya 'pengkhianatan' dua warga Desa Taji, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, yang memberi informasi bahwa ada puluhan pejuang gerilyawan yang tengah beristirahat di lembah sekitar hutan Kalijahe.
“Saat itu memang ada dua orang warga lokal dari Taji pas lewat sini, lalu yang bersangkutan memberikan informasi ke Belanda. Pejuang ini kan sedang istirahat, ada yang sedang mencari makanan di lembah yang dianggap aman, tapi tiba-tiba pukul 11.00 WIB diberondong tembakan dari atas bukit, pertempuran sampai sore pukul 17.00 WIB,” terangnya.
Dari satu Kompi Gagak Lodra yang sekitar berjumlah 40-an orang, hampir seluruhnya gugur, hanya ada satu prajurit bernama Slamet yang bisa melarikan diri dengan selamat.
“Kalau satu kompi ya ada sekitar 40-an, yang selamat melarikan diri satu orang atas nama Pak Slamet saat ini sudah meninggal dunia. Terakhir makam yang saya pindahkan itu ada dua baru, itu ada batu nisannya. Saya pindahkan karena Coban Jahe ramai dan disalahgunakan. Makanya kok kasihan saya pindah,” tuturnya.
“Para pejuang ini gugur dengan kondisi mengenaskan, kondisi bagian tubuhnya tidak utuh, ada perempuan-perempuan yang juga dibantai oleh tentara Belanda, dia itu semacam bidan atau tenaga medis-lah. Ada yang perempuan hamil juga dibunuh dengan bayi di perutnya,” tutup Agus.
(Rizka Diputra)