PENYAKIT asma pada anak kerap menyebabkan kesulitan bernapas sehingga dapat mengganggu aktivitas, rutinitas dan kualitas hidup si Kecil. Jika dibiarkan secara terus-menerus maka kondisi ini akan berkaitan dengan proses tumbuh kembang anak.
Menurut penelitian Yunginger, disebutkan bahwa asma dimulai sejak usia dini dan insidensi paling tinggi pada anak prasekolah (<6 Tahun). Hal ini juga yang akan menjadi faktor angka asma terus merangkak naik pada usia dewasa.
Dokter Spesialis Paru Anak sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K) menjelaskan, produksi lendir yang berlebihan akibat bronkus yang menyempit ataupun membengkak dapat menyebabkan seseorang kesulitan bernapas. Gejala utama asma yang biasanya muncul adalah batuk, wheezing, sesak napas, rasa tertekan di dada.
Prof Bambang mengatakan sangat penting bagi orangtua untuk memahami bagaimana cara untuk mendeteksi asma sejak dini agar upaya pencegahan sensitisasi akan alergen asma bisa dilakukan sejak masa kehamilan.
Salah satu caranya adalah skrining yang bisa dilakukan lewat Skrining Risiko Asma Pediatrik (Pediatric Asthma Risk Score/PARS), disamping Asthma Pediatric Index yang selama ini dikenal.
"Hasil skrining PARS ini untuk menentukan apakah anak memililki risiko rendah, sedang atau tinggi terhadap asma. PARS menjadi alat yang membantu dokter mengidentifikasi untuk merencanakan tindakan pencegahan atau intervensi sesuai dalam upaya mencegah asma," tutur Prof Bambang, dalam siaran pers yang diterima Okezone, Rabu (7/8/2024).
Dalam diagnosis asma pada anak, selain anamnesis dan pemeriksaan fisis, terdapat juga pemeriksaan penunjang yaitu salah satunya dengan sistem prediksi atau skoring. Pada penelitian Micheal dan kawan-kawan juga menyebut kalau PARS dinilai sebagai alat skrining sederhana, efektif, dan dipersonalisasi untuk memperkirakan risiko asma pada anak-anak.
Riset tentang Pengembangan Alat Skrining Risiko Asma Pediatrik (Pediatric Asthma Risk Score/PARS) dilakukan oleh dua peneliti dari Cincinnati Children’s, yakni Jocelyn Biagini, PhD, dan Gurjit Khurana Hershey, MD, PhD pada 2018. Menggunakan enam faktor untuk risiko pada anak-anak antara lahir dan usia tiga tahun, hasil riset yang dilakukan pada 762 anak ini menunjukkan kinerja baik.
Dalam hal ini, PARS dapat memprediksi perkembangan asma pada kohort studi tersebut dengan sensitivitas sebesar 0.68 dan spesifisitas sebesar 0.77. Bahkan dalam memprediksi asma pada anak-anak dengan risiko asma ringan hingga sedang, PARS juga dinilai lebih baik daripada Asthma Predictive Index (API).
PARS lebih unggul dengan peningkatan 11 persen dalam sensitifitas untuk mendeteksi dengan tepat anak-anak yang akan mengalami asma. Yang terbaru, dalam studi yang diterbitkan NEJM Evidence pada 4 Agustus 2023 menunjukkan PARS berkinerja baik dalam menentukan perkiraan risiko asma pada ana-anak dari berbagai etnis, latar belakang, dan kepekaan terhadap asma. Dimana lebih dari 33.200 klinisi, orangtua, mahasiswa, dan peneliti telah mengakses PARS di lebih dari 160 negara.
Menurut Prof Bambang, ketika anak telah melakukan skrining PARS maka hal ini menjadi dasar untuk pengobatan yang perlu dilakukan. Selain itu juga sebagai upaya pencegahan akan serangan atau kekambuhan asma yang bisa dihindari. Salah satunya adalah menghindari alergen atau pencetusnya, sehingga kontrol asma dapat dilakukan.
"Faktor pencetus asma itu misalnya seperti debu rumah, alergen dari bulu bintang ataupun polusi udara. Baik itu dari asap rokok, asap kayu ataupun polusi udara di luar ruangan karena buangan kendaraan bermotor misalnya. Bahkan tingkat polusi udara di Jakarta yang tinggi dan hingga infeksi pernafasan akibat virus yang bisa menjadi pencetus," tutur Prof Bambang.
(Leonardus Selwyn)