IDI Jelaskan Indikasi Kedaruratan Medis Praktik Aborsi

Wiwie Heriyani, Jurnalis
Jum'at 02 Agustus 2024 19:42 WIB
IDI jelaskan kedaruratan medis praktik aborsi. (Foto: Freepik.com)
Share :

KEPUTUSAN pemerintah yang kini melegalkan aborsi di Indonesia hingga kini ramai diperbincangkan. Seperti diketahui, keputusan memperbolehkan praktik aborsi itu tertuang lewat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang sudah diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam PP tersebut ditegaskan, bahwa praktik aborsi diperbolehkan dengan alasan dua kondisi. Salah satunya, yakni indikasi kedaruratan medis. Misalnya, kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan/atau kondisi kesehatan janin dengan catat bawaan yang tak dapat diperbaiki, sehingga tak memungkinkan hidup di luar kandungan.

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) lantas memberikan pemahaman terkait indikasi kedaruratan medis yang bisa jadi syarat untuk praktik aborsi tersebut. Tujuannya, agar masyarakat tak salah kaprah, dan jangan sampai menganggap bahwa praktik aborsi diperbolehkan begitu saja tanpa kedaruratan indikasi medis yang dimaksud.

Obginsos Ketua Bidang Legislasi dan Advokasi PB IDI, dr Ari Kusuma Januarto, SpOG mengatakan, kedaruratan indikasi medis yang dimaksud salah satunya adalah kasus keguguran yang terjadi dalam sejumlah kehamilan. Pasalnya, kata Dr Ari, kasus keguguran sendiri memiliki dua kondisi, yakni kondisi keguguran yang memang masih bisa dipertahankan dan sebaliknya.

Kasus keguguran yang bisa dipertahankan yang dimaksud yakni di mana ibu hamil mengalami masalah kehamilan pada usia di bawah 20 minggu pertama. Masalah tersebut meliputi munculnya flek hingga mengalami pendarahan.

Namun, selama janin masih ada di dalam rahim, menurutnya kondisi tersebut masih bisa diselamatkan tanpa harus dilakukan praktik aborsi.

“Keguguran itu ada yang bisa dipertahankan, ada yang tidak. Seperti yang disebutkan tadi, aborsi itu suatu tindakan medis. Tetapi dalam suatu proses kehamilan, ada yang mengalami suatu proses keguguran. Dan keguguran ini ada terjadinya pendarahan pada usia kehamilan di bawah 20 minggu,” ujar Dr Ari, saat media briefine secara online, Jumat, (2/8/2024).

“Di mana dalam hal ini ada yang bisa dipertahankan, ada yang tidak. Dipertahankan itu maksudnya kalau kita ngomong secara indikasi medis, dipertahankan ada yang kondisi pendarahan, tapi janinnya masih di dalam, dia mengalami flek-flek. Nah itu bisa dipertahankan,” tuturnya.

Sebaliknya, dr Ari menjelaskan, ada juga kondisi keguguran pada ibu hamil yang sampai mengalami pendarahan parah dan kondisi janin yang sudah keluar sebagian saat usia kehamilan masih di bawah 20 minggu.

Bahkan, keguguran juga bisa terjadi di mana mulut rahim sudah mulai terbuka namun kondisi janin masih di dalam, sehingga kondisi tersebut sudah tidak bisa dipertahankan dan dibutuhkan praktik kuret hingga aborsi.

“Yang kedua ada juga sudah mengalami pendarahan banyak, separu di luar, separu di dalam, tinggal sisa,” kata dr Ari.

“Bahkan, ada yang sudah kebuka mulut rahimnya, tapi janinnya di dalam, biasanya itu tidak bisa dipertahankan juga. Nah yang tidak bisa dipertahankan inilah yang mungkin nanti harus dilakukan suatu tindakan kuretase,” sambungnya.

Karena itulah, menurutnya, PP Kesehatan terkait legalisasi praktik aborsi tersebut salah satunya bertujuan untuk mengatasi kedaruratan indikasi medis yang bisa mengancam nyawa ibu.

“Nah yang keempat adalah yang mungkin keluar sendiri, sudah kosong di dalam (rahimnya). Nah ini dulu yang perlu dipahami, bahwa itu ada suatu keadaan memang dalam suatu kehamilan yang bisa mengalami proses tersebut (aborsi),” katanya

“Namun, yang di undang-undang itu kan jelas disebutkan adalah masalah kedaruratan medis. Di mana kedaruratan medis itu adalah hal-hal yang tentunya berhubungan dengan mengancam kesehatan ibu kemudian janin,” ujarnya.

(Leonardus Selwyn)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita Women lainnya